Kamis 14 Apr 2022 00:10 WIB

Pengidap Hemofilia Harap Jangkauan Obat Diperluas

Obat bagi pengidap hemafolia masih terbatas.

 Pengidap Hemofilia Inginkan Jangkauan Obat Diperluas. Foto: Obat/ Ilustrasi
Foto: EPA
Pengidap Hemofilia Inginkan Jangkauan Obat Diperluas. Foto: Obat/ Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pasien hemofilia ingin mendapatkan akses obat yang lebih luas. Ini karena obat yang mereka terima saat ini terbatas.

Pengidap hemofilia sebenarnya sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan pengobatan yang ditanggung oleh BPJS. Namun, obat dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum bisa mencukupi kebutuhan mereka. Kondisi mereka mengharuskan untuk menyetok obat, tetapi kebijakan yang berlaku tidak mengizinkan demikian. Obat tak boleh distok dan baru boleh dimiliki sesuai kebutuhan pasien, serta pilihan terapi terbatas.

Baca Juga

Mas Pur (31 tahun) adalah salah seorang pengidap hemofilia akut. Rani (41) adalah kakak yang bertanggung jawab atas kondisi Mas Pur. Sang adik baru diketahui menderita hemofilia saat usianya sekitar 5 tahun pada 1995. Di era itu, penyakit hemofilia belum ada obatnya.

"Jadi pengobatannya cuma dikasih yang ada pada saat itu. Secara otomatis, pendarahannya sulit berhenti karena penyakit hemofilia itu sakitnya pendarahan, tetapi tidak bisa berhenti atau sulit diberhentikan," kata Rani belum lama ini.

Pendarahan itu pun bisa terjadi setiap waktu, terkadang berupa pendarahan kecil, kadang pendarahan besar, dan yang terjadi di dalam tubuh.

Setiap kali darahnya keluar, Mas Pur merintih kesakitan. Bayangkan saja, rasanya darah mengucur dari dalam tubuh melalui kulit itu sakit sekali.

"Kita saja kalau lecet sedikit itu rasanya sakit. Kondisi adik saya ini kelihatan dari mukanya, ia sangat menahan rasa nyeri," katanya.

Kondisi ini terus berlangsung hingga Mas Pur beranjak dewasa. Seluruh anggota tubuh Mas Pur tak boleh terbentur. Bahkan, aktivitas sehari-hari yang menahan beban sampai terasa pegal juga dilarang keras. Dari pengalaman yang sudah-sudah, Mas Pur bisa mengalami bengkak yang sangat parah.

"Lalu pendarahan lagi. Otomatis kalau pendarahan itu tidak dihentikan maka akan terus makin membengkak," katanya.

Mungkin, jika di zaman itu obat hemofilia sudah ada di Indonesia, kondisi Mas Pur tak separah sekarang. Sekarang, Mas Pur mengalami kelumpuhan. Sehari-hari, ia hanya tergeletak di kasur dan sedikit bisa berjalan tetapi tidak boleh sampai pegal.

Yang makin membuat miris, kini Mas Pur hanya tinggal bersama Ayah yang sudah lanjut usia serta ibunya yang mengalami stroke.

Sepenggal kisah masa lalu, sang ibu mengalami stroke saat mengurus Mas Pur di rumah sakit. Mas Pur memiliki bengkak yang amat besar di paha yang menyebabkan pendarahan hebat dan tidak kunjung berhenti. Karena kondisi tersebut, sang ibu mengalami kelelahan sekaligus syok berat yang membuatnya mengalami stroke.

Mereka merupakan keluarga yang berasal dari kalangan kurang mampu. Jika ingin pergi berobat, sang ayah yang sudah sepuh ini harus menyewa mobil menuju rumah sakit yang jaraknya puluhan kilometer. Setiap pekan, ayahnya harus membawa Mas Pur ke rumah sakit yang jauh untuk meminta obat dan mengecek kondisi kesehatannya. Beruntung, saat ini sudah ada fasilitas ambulans desa yang sesekali bisa digunakan.

Sementara itu, Rani yang dulu bisa rutin merawat Mas Pur kini tak bisa mengurus dan menemaninya sepanjang hari. Ia harus bertanggung jawab kepada suami dan anaknya di lokasi yang jauh dari tempat Mas Pur. Namun, Rani selalu stand-by jika suatu waktu dibutuhkan tenaganya untuk membantu ayah dan sang adik.

Kondisi Mas Pur sedikit terobati karena di tahun 2015 obat hemofilia sudah ditemukan dan masuk ke Indonesia. Obat tersebut adalah Faktor VIII. Meski tidak menyembuhkan secara total, setidaknya Faktor VIII bisa mengatasi ketika terjadi pendarahan. Obat tersebut harganya sangat mahal, yakni sekitar Rp12,5 juta untuk ukuran tertentu. Obat itu sebenarnya ditanggung BPJS, tapi ketersediaannya sangat terbatas. Faktor VIII tidak bisa distok pasien sehingga jika kambuh maka dalam kondisi serba kesulitan dan menahan sakit harus menuju rumah sakit demi mendapatkan obat.

Rani bersyukur bisa dapat obat gratis dari BPJS. Di satu sisi, ia berharap agar obatnya bisa distok di rumah untuk memenuhi kebutuhan Mas Pur, mengingat kondisi ayahnya yang sudah sulit untuk mengantarkan Mas Pur secara rutin, tiap kali terjadi pendarahan. Sayangnya, pasien sampai saat ini tidak diizinkan untuk bisa stok obat hemofilia di rumah. Selain itu, Rani juga merasa kesulitan untuk mengandalkan BPJS ketika kondisi darurat yang membuat adiknya kehilangan banyak darah.

“Waktu itu, rumah sakit tidak bisa memberikan Faktor VIII lagi. Akhirnya saya dibantu oleh donatur dan organisasi di luar rumah sakit dan BPJS,” ujarnya.

Rani sangat berharap, penyakit hemofilia bisa dikhususkan dari aturan BPJS. Persoalannya, jika terjadi pendarahan, pasien harus dibawa ke rumah sakit yang jauh. Kalau menggunakan BPJS, obat hanya diberikan saat diopname. Padahal, pendarahan tidak pernah diketahui kapan akan datangnya, sehingga pilihannya hanya dua: jika pendarahan hebat, pasien harus segera dilarikan ke IGD dengan dosis obat yang juga terbatas; dan jika terjadi pembengkakan ringan, pasien sebisa mungkin dirawat seadanya di rumah tanpa obat, sambil menanggung rasa sakit dan menunggu jadwal mingguan suntik di rumah sakit. Ia juga berharap, BPJS menyediakan obat lain yang lebih maju dan tidak memerlukan penyuntikan berkali-kali agar pasien tidak harus bolak-balik berobat ke rumah sakit untuk mengobati pendarahannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement