Jumat 08 Apr 2022 18:41 WIB

Harga Pangan Terus Naik, Rakyat Makin Tercekik

Jika harga pangan terus dibiarkan naik akan menggerus daya beli masyarakat.

Sejumlah warga antre untuk membeli minyak goreng curah di salah satu distributor minyak goreng curah di sekitar Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (6/4/2022). Menurut warga setempat, mahalnya minyak goreng kemasan memaksa mereka untuk membeli minyak goreng curah seharga Rp15.500 per kilogram dengan maksimal pembelian 5 kilogram per KTP, dengan antrean mulai pukul 05:30 WIB yang hingga pukul 15:30 WIB stok minyak goreng curah setempat masih kosong.
Foto:

Pihak yang terdampak dalam urusan tingginya harga pangan selain rumah tangga adalah UMKM. Sehingga untuk komoditas seperti kedelai, gula pasir, minyak goreng curah dan daging ayam ras yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan bahan baku usaha, harus dibenahi dari proses hulu hingga hilir. Kondisi ini terkait dengan level usaha yang menjalankan sehingga tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.

Misalnya pada komoditas beras. Usaha perberasan telah dimasuki oleh perusahaan besar yang juga bermain di lini usaha lain seperti minyak goreng. Usaha besar yang masuk ke dalam rantai bisnis ini harus diatur agar mereka diwajibkan memiliki lahan padi. Jangan dibiarkan bermain hanya dalam usaha pemrosesan padi hingga menjadi beras siap dijual. Kondisi ini akan berdampak kepada bisnis penggilingan padi kecil rakyat yang akan gulung tikar.

Sama halnya dengan komoditas gula pasir. Perusahaan yang menjalankan usaha di sektor ini perlu memiliki tanaman tebu yang diatur besaran minimal yang di pasok dari lahan milik perusahaan itu sendiri. Kondisi saat ini, beberapa pabrik gula hanya melakukan proses pemurnian dari raw sugar yang di impor menjadi gula rafinasi. Karena itu dengan mewajibkan pabrik gula rafinasi memiliki lahan tebu, dalam jangka panjang akan mampu mengurangi bahkan berhenti mengimpor komoditas ini.

Contoh kebijakan tersebut berlaku pada produsen minyak goreng. Pemerintah mengatur bahwa pabrik minyak goreng minimal harus memiliki lahan sawit yang memenuhi 20 persen dari kapasitas produksinya. Ketentuan ini terdapat pada Peraturan Menteri Pertanian No 27 tahun 2017.

Penetapan aturan ini justru bertolak belakang dengan kebutuhan. Minyak goreng yang produksinya jauh melebihi konsumsi dalam negeri bahkan sampai diekspor, justru diwajibkan untuk memiliki lahan. Akibatnya produksi minyak goring hanya bisa dilakukan oleh segelintir perusahaan.

Seharusnya produksi minyak goreng tidak wajib memiliki lahan agar perusahaan kecil dan menengah di bidang usaha ini bertumbuh. Alhasil, akibat tingginya harga bahan baku CPO dan keharusan memiliki lahan, sebagian pabrik minyak goreng mulai gulung tikar.

Seharusnya, produsen komoditas seperti gula pasir dan beras lah yang diwajibkan untuk memiliki lahan dalam menghasilkan bahan bakunya. Tujuannya demi mengurangi atau bahkan menghapuskan kecenderungan impor terhadap produk ini.

Sedangkan untuk komoditas daging ayam ras dapat diatur distribusinya. Hal ini dikarenakan usaha yang sebelumnya hanya boleh dijalankan oleh usaha rakyat, telah dimasuki oleh perusahaan besar asing pasca reformasi sehingga banyak usaha kecil perlahan gulung tikar. Selain itu pemerintah harus membagi pasar dalam distribusi komoditas ini.

Misalnya untuk usaha besar hanya diperbolehkan memasok di pasar retail modern. Sedangkan untuk pasar tradisional diberikan seluruhnya kepada UMKM sektor ini.

Pemerintah perlu mengatur sistem pengawasan yang lebih ketat agar perusahaan perusahaan besar tersebut tidak lagi menyerobot pasar UMKM. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi kanibalisme antara usaha besar dengan UMKM.

Dengan kebijakan mendasar seperti di atas diharapkan iklim usaha komoditas pangan menjadi lebih sehat. Jangan sampai kelalaian pemerintah dalam mengurus pangan menimbulkan pertanyaan di masyarakat, "Apakah kita masih membutuhkan pemerintah?"

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement