REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Nihayatul Wafiroh meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk membuang vaksin Covid-19 yang sudah kedaluwarsa serta menggantikan dengan vaksin halal.
"Saya tanya ke orang Farmasi, kalau orang farmasi saja bilang mengkhawatirkan dengan berbagai macam alasannya," kata Nihayatul dalam Rapat Panja Pengawasan Vaksin Komisi IX DPR bersama Bio Farma dan BPOM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).
Politisi PKB itu menyarankan agar pemerintah segera membuang vaksin yang sudah jelas-jelas dalam kondisi kedaluwarsa. Alasannya, pemerintah tidak mengeluarkan uang dan vaksin itu juga barang hibah.
Nihayatul menegaskan pemerintah juga memiliki anggaran dan harus segera memberdayakan vaksin halal agar menjadi pilihan masyarakat. "Apalagi juga tadi disampaikan ada vaksin halal yang bisa kita berdayakan, kenapa tidak kita gunakan itu," kata dia.
Membuang vaksin kedaluwarsa dan menggantinya dengan vaksin halal dapat memberikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. "Kita pun juga lebih tenang, keselamatan masyarakat paling utama," ujarnya.
Sementara itu Anggota DPR Ansory Siregar mengatakan pengakuan Kepala BPOM jika semua vaksin yang sudah kedaluwarsa akan dibuang semuanya.
"Bahwa Bu Penny sebelumnya bilang bahwa semua vaksin kedaluwarsa akan dibuang semua. Ini saya dengar ya, buang," ucap Politisi PKS itu menegaskan.
Ansory menduga bahwa Kepala BPOM mendapat tekanan dari pihak luar untuk tetap menggunakan vaksin yang sudah kedaluwarsa. "Lantas apa adanya tekanan, ada yang manggil ibu, ada menekan ibu, ada yang minta bertemu, tolong ini di klarifikasi, supaya saya tenang," cecar Ansory.
Terkait hal tersebut, Kepala BPOM diwakili Direktur Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor, Togi Junice Hutadjulu menjelaskan selama masa pandemi, bukan berarti pihaknya kompromi dengan menggunakan standar keamanan yang tinggi terkait khasiat keamanan dan mutu.
"Itu bukan kedaluwarsa, tetapi batas waktu yang kita berikan karena mempunyai data hanya pendek yakni tiga bulan," jelasnya.
Menurut dia, sesuai standar WHO diperbolehkan melakukan uji stabilitas selama tiga bulan. Dengan waktu itu, pihaknya akan terus melakukan evaluasi, apakah memenuhi syarat parameter pengujian atau tidak.
Namun kata dia, kalau ada data pengujian yang lebih panjang diberikan kepada BPOM, pihaknya akan memberikan perpanjangan.