Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menjelaskan, RUU TPKS menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Karenanya, pasal yang mengatur perkosaan dan aborsi tak masuk dalam RUU tersebut, karena sudah diatur dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).
"Kenapa kita tidak masukkan pemerkosaan. Satu, dia sudah ada di KUHP, RKUHP itu lebih komplet lagi. Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua undang-undang, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).
Dalam Pasal 245 RKUHP dijelaskan, setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.
Sementara dalam Pasal 455 RKUHP, pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV adalah setiap orang yang mengancam dengan kekerasan secara terang-terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau barang, suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang, dan perkosaan atau dengan perbuatan cabul. Kemudian, suatu tindak pidana terhadap nyawa orang, penganiayaan berat, dan pembakaran.
Kendati demikian, Willy menjelaskan bahwa perkosaan tetap masuk sebagai jenis kekerasan seksual lainnya. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 4 Ayat 2 RUU TPKS yang substansinya sudah disepakati oleh pemerintah dan Baleg.
"Yang menjadi keunggulan dari RUU TPKS ini adalah dia punya hukum acara sendiri. Jadi, jenis kekerasan seksual yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini. Misalnya seperti aborsi, pemerkosaan, TPPO, PKDRT, perlindungan anak, itu bisa pakai hukum acara TPKS," ujar Ketua Panja RUU TPKS itu.
Diketahui, Panja telah menyepakati 10 jenis kekerasan seksual yang masuk ke dalam Pasal 4 Ayat 1. Kesembilan jenis kekerasan seksual itu adalah pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik".
Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat 2 dijelaskan 10 tindak pidana kekerasan seksual selain yang tertera dalam Ayat 1, yakni perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan antara anak; perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; dan pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kemudian, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Terakhir adalah tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.