Sabtu 02 Apr 2022 19:40 WIB

BPIP: Salam Pancasila, Angkat Tangan Kanan Lima Jari di Atas Pundak Sedikit

BPIP sosialisasi pentingnya salam Pancasila,

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia, Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD
Foto: BPIP
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia, Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD

REPUBLIKA.CO.ID,  YOGYAKARTA  -- Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menekankan pentingnya sosialisasi Salam Pancasila sebagai salam pemersatu kebangsaan yang menjadi tugas dan fungsi lembaganya dalam membangun harmoni antarumat beragama.

Yudian dalam keterangan tertulis yang diterima, di Yogyakarta, Sabtu (2/4/2022), mengatakan bahwa sejarah dan latar belakang Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka Bung Karno (Presiden Soekarno) yang dikumandangkannya pada awal kemerdekaan.

Baca Juga

"Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden Pertama RI Soekarno pada 1945. Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan," katanya.

Menurut dia, salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan itu bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya mengamalkan kelima sila Pancasila dan harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia. Kemudian, setiap jemari tidak berpisah, pengertiannya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.

Selain pentingnya mensosialisasikan Salam Pancasila, Kepala BPIP juga menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Menurut dia, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu, tetapi ada di kebersamaan dan persahabatan.

"Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya memakai bahasa hukum," katanya pula.

Oleh karena itu, Yudian selalu menegaskan bahwa tidak ada toleransi tanpa konsensus. Karena, nanti masing-masing standarnya berbeda. "Masing-masing nanti punya warna antara kelompok yang satu dengan yang lainnya," kata Yudian.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement