Senin 28 Mar 2022 17:23 WIB

Ketua MK Diminta tak Ikut Mengadili Gugatan UU IKN 

Ketua MK Anwar Usman berencana menikahi adik Presiden Joko Widodo.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman. Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) selaku pemohon permohonan uji formil Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak ikut mengadili dan memutus perkaranya bernomor 25/PUU-XX/2022.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi. Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman. Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) selaku pemohon permohonan uji formil Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak ikut mengadili dan memutus perkaranya bernomor 25/PUU-XX/2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) selaku pemohon permohonan uji formil Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak ikut mengadili dan memutus perkaranya bernomor 25/PUU-XX/2022. Hal ini berkaitan dengan rencana Anwar Usman yang akan menikahi adik ketiga dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

"Kami juga mendesak agar Ketua Mahkamah Konstitusi untuk tidak ikut mengadili dan memutus perkara ini, mengingat yang bersangkutan memiliki rencana untuk menikahi adik ketiga dari Presiden Republik Indonesia yang merupakan pihak yang berperkara dalam pengujian formil UU IKN Nusantara (UU Inisiatif Presiden)," ujar Koordinator Tim Kuasa Hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/3/2022). 

Baca Juga

Saat ini, perkara tersebut sudah memasuki tahap perbaikan permohonan. Dalam perbaikannya, jumlah pemohon bertambah dari 12 orang menjadi 24 orang. 

Para pemohon meminta MK mencatatkan putusan perkara nomor 25/PUU-XX/2022 dicatatkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) pada 23 Februari 2022. Mengingat tenggang waktu pengujian formil sampai pada putusan adalah 60 hari sejak perkara dicatatkan dalam BPRK. 

Para pemohon juga mengingatkan waktu MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara nomor 25/PUU-XX/2022 tinggal 30 hari kerja lagi. Mengingat tenggang waktu penanganan perkara sampai pada putusan yakni 60 hari kerja sudah ditentukan secara eksplisit dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019. 

"Artinya MK tidak bisa melewati tenggang waktu tersebut, sama seperti tenggang waktu dalam penanganan pilkada/pilpres/pileg yang sudah diatur secara eksplisit sehingga MK tidak bisa menyampingkannya," kata dia. 

Terkait dengan putusan provisi, para pemohon meminta MK memerintahkan pemerintah untuk menunda segala tindakan/kebijakan ataupun penerbitan peraturan pelaksana yang berdasarkan pada UU IKN. Penundaan dilakukan sampai MK memutus perkara nomor 25/PUU-XX/2022, yang tersisa tinggal 30 hari kerja. 

Hal tersebut menjadi sangat penting mengingat uji formil berbeda dengan uji materiil, yang memiliki tenggang waktu penanganan perkara sampai putusan hanya 60 hari. Untuk menghindari kondisi sebagaimana yang terjadi pada Undang-Undang tentang Cipta Kerja, tidak ada alasan bagi MK untuk tidak memberikan putusan provisi. 

"Terhadap pokok permohonan kami menguatkan beberapa hal. Salah satunya terbukti tidak adanya kesinambungan anggaran untuk pembangunan IKN. Salah satu buktinya adalah pemerintah membuka kesempatan rakyat untuk urunan/saweran untuk biaya perpindahan dan pembangunan IKN," jelas dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement