Kamis 24 Mar 2022 18:00 WIB

Mengapa Orang Indonesia Nyaman Memeluk ‘Whataboutisme’?

praktik penyangkalan atau 'Whataboutisme' ada di mana-mana.

'Whatabutisme' dalam meme.
Foto:

Kesukaan para otokrat

Lahir dan besar dalam budaya Soviet, pemimpin Rusia Vladimir Putin tentu saja terbiasa dengan “Whataboutisme”. Catatan pun menunjukkan kerapnya Putin menggunakan pelintiran logika tersebut. 

“Jangan ceramahi saya soal demokrasi,”kata Putin dalam sebuah kesempatan bertemu Presiden George W. Bush, 2006 lalu. “Saya jujur mengatakan kepada Anda: kami tidak ingin memiliki demokrasi seperti (yang dikembangkan)  di Irak.” The Guardian pada artikel “Putin: Don't lecture me about democracy” tanggal 16 Juli 2006 itu menulis bahwa beberapa bulan sebelumnya Washington kerap mengkritik cengkeraman keras Putin pada media massa dan politik Rusia.

Dalam catatan Ben Zimmer, Putin juga menggunakan taktik tersebut dalam sebuah wawancara dengan jurnalis NBC News, Megyn Kelly, pada Maret 2018 lalu.

Bahkan dalam aneksasinya yang illegal terhadap Krimea, Joshua Keating dalam tulisannya di Slate pada 2014, menulis bahwa Putin masih tega memakai logika ngasal tersebut. Putin, tulis Keating, saat itu “mendaftarkan serangkaian keluhan tentang intervensi Barat."

Semua itu hanya sedikit dari banyak contoh yang bisa dikemukakan. 

Tapi memang kemudian terbukti bahwa “Whataboutisme” sangat berkelindan erat dengan keseharian para pemimpin berciri otokrat.  Donald Trump, salah satu contoh, adalah pelaku dan pemegang teguh cara “Whataboutisme”. "Alih-alih memberikan pembelaan yang masuk akal (dari rencana perawatan kesehatannya), dia malah melakukan pelanggaran tumpul, yang merupakan ciri khas “Whataboutisme”", tulis Danielle Kurtzleben dari National Public Radio. “(Dia) terdengar sangat mirip dengan Putin."

Tentang kemiripan tersebut, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, Michael McFaul, menulis di The Washington Post dan  secara kritis membandingkan penggunaan taktik Trump di tahun-tahun lalu itu dengan Putin. McFaul berkomentar, "Itulah jenis argumen yang telah digunakan propagandis Rusia selama bertahun-tahun untuk membenarkan beberapa kebijakan paling brutal yang dilakukan Putin."

Ketika dalam pembawa acara Fox News, Bill O'Reilly menyebut Putin sebagai "pembunuh," Trump menanggapi dengan mengatakan bahwa pemerintah AS juga banyak membunuh orang. Trump mengatakan,” Ada banyak pembunuh. Kita memiliki banyak pembunuh. Bagaimana menurut Anda, apakah negara kita memang begitu polos?"

Contoh lain, pada 2018 lalu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa "Pendudukan [Israel] adalah omong kosong, ada banyak negara besar yang menduduki dan menggantikan populasi dan tidak ada yang membicarakannya." Begitu pula saat Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang menggunakannya terutama sehubungan dengan protes penulis India tahun 2015 dan pencalonan mantan Ketua Hakim Ranjan Gogoi ke parlemen.

Mengapa disukai orang Indonesia? 

Relatif sulit mencari pemikiran tertulis yang mendukung ‘Whataboutisme’. Seperti terpapar jelas di atas, kebanyakan orang sehat mengambil sikap berhadapan dengan pemelintiran logika tersebut.  Apalagi kemudian terbukti bahwa kecuali membuat orang bingung dan ragu untuk berpihak pada kebenaran, dampaknya pun tak banyak.

"Para pembuat kebijakan di Rusia hanya mendapat sedikit keuntungan dari serangan gaya  'Whataboutisme' mereka,” tulis Samuel Charap, ilmuwan politik RAND Corporation di The National Interest. 

Meski pemerintah otokrasi Cina sendiri termasuk yang kerap menggunakannya, budaya Cina terkesan sangat tidak ramah terhadap ‘Whataboutisme’. Metafora Cina yang bersinonim dengan ‘Whataboutisme’ adalah ‘Argumen Kutu Bau’ alias  Chòuchónglùn, yang konon pertama kali dipakai sastrawan terkemuka Cina, Lu Xun. Bahasa Mandarin tersebut dipakai untuk menunjukkan kecenderungan umum rekan-rekannya yang kerap menuduh orang Eropa memiliki masalah yang sama buruknya, setiap kali datang kritik terhadap masalah domestik Cina.

Wajar bila Lu Xun kerap mencemooh sikap tersebut dalam karya-karya sastranya. Ia percaya, sikap tersebut menghalangi kemajuan budaya dan sikap mental orang Cina. 

Dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina, ‘Whataboutisme’ membuat orang yang meyakininya terlihat seolah menoleransi Rusia membunuhi warga sipil Ukraina alasan ‘defense’—yang ini pun sejak awal menjadi alasan yang ganjil. Persoalannya, secara telanjang warga dunia menyaksikan act of war-nya sama sekali bukan Ukraina. Kalimat yang lebih jujur bisa dikatakan, seorang pengidap ‘Whataboutisme’ akan terkesan memaklumi ratusan anak Ukraina yang meninggal dalam serangan Rusia, hanya karena “Lha, AS pun melakukan hal yang sama di Afghanistan, di Irak blah blah blah…”

Padahal, bukankah sejatinya orang harus membela siapa pun yang menjadi korban kesewenangan, sementara ia harus jernih melihat akar masalah. Apa alasan kuat Rusia menyerang Ukraina? Karena negeri kecil itu hendak menjadi anggota NATO? Menjadi anggota NATO masih merupakan harapan yang jauh, sementara Rusia menginvasi, menyerang dan membuat sekian banyak orang terbunuh dan menjadi pengungsi, itu kenyataan di depan mata.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement