Rabu 16 Mar 2022 17:48 WIB

Indonesia Harus Penuhi Ini Dulu Agar Bisa Bertransisi ke Endemi

Lima indikator transisi endemi harus terjadi konsisten setidaknya dalam enam bulan.

Warga berolahraga di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Ahad(13/3/2022). Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Reisa Broto Asmoro mengungkapkan peralihan pandemi menuju endemi tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu jumlah kasus harian dan angka kematian yang rendah, serta tingkat keterisian rumah sakit.
Foto:

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Guru Besar FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, dalam transisi menuju endemi, indikator surveilans harus terus dilakukan. Surveilans adalah pengamatan terus menerus, disertai respons segera.

"Dari sisi lain maka dapat juga diartikan bahwa surveilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya intelejensi kesehatan masyarakat, agar dapat dimonitor situasi penyakit yang ada serta dilakukan deteksi dini kalau ada awal peningkatan kasus, dan dilakukan respons segera agar situasi kesehatan segera terkendali dan tidak berkepanjangan," kata Tjandra dalam keterangan, Rabu (16/3/2022).

Pada dasarnya, lanjut Tjandra, ada lima bentuk yang dapat menjadi dasar kegiatan surveilans kesehatan masyarakat. Pertama, jelas perlu dilakukan surveilan pada besarnya masalah penyakit yang ada, baik jumlah kasus yang ada beserta tren kecenderungannya, maupun surveilans jumlah kematian dalam bentuk angka fatalitas  serta angka mortalitas. "Data yang ada tentu perlu ada pembandingnya, pertama situasi kini dengan waktu yang lalu, katakanlah jumlah kasus kini dibandingkan tahun yang lalu, kedua perbandingan kecenderungan kenaikan/penurunan kasus dalam bentuk trend epidemiologi, serta ketiga perbandingan dengan daerah atau negara lain," terang Tjandra.

Bentuk surveilans kedua adalah berdasar metodologi diagnosis, yaitu pertama berdasar pemeriksaan standar PCR, kultur, atau bentuk lain sesuai penyakitnya, kedua berdasar hal yang pasti dengan surveilan genomik yang kini merupakan acuan ilmiah utama di dunia, dan ke tiga surveilan bebasis gejal, misalnya dalam bentuk “National Syndromic Surveillance Program”.

Bentuk ketiga adalah surveilans yang mengikuti konsep “One Health” yang menyebutkan bahwa status kesehatan masyarakat tergantung dari kesehatan manusia, hewan dan keadaan lingkungan. Karena itu, agar bisa mendapatkan gambaran menyeluruh maka perlu surveilans tidak hanya perlu dilakukan pada manusia, tetapi juga pada hewan serta surveilan pada lingkungan, sesuai konsep “human-animal health-environment interface”.

Bentuk keempat adalah surveilans keadaan yang berhubungan dengan terjadinya penyakit, yang akan meliputi aspek yang oleh WHO disebut sebagai “social determinant of health”, seperti kemiskinan, kekurangan pangan, ketimpangan sosial dan diskriminasi, kondisi masa kanak-kanak yang tidak sehat, serta rendahnya status pekerjaan dll. Namun, apapun cara surveilansnya, hal terpenting adalah harus menganalisa hasilnya untuk dapat menjadi informasi dalam pengambilan keputusan.

 

"Pada dasarnya ada lima kegiatan, 1) memprediksi, 2) mencegah, 3)mendeteksi, 4) melakukan persiapan dan 5) melakukan respons, yang dapat dikatakan sebagai salah satu dasar penting intelejensi kesehatan, bagian amat vital dalam pengendalian penyakit, di negara kita dan juga di dunia," ujar Tjandra.

Akademisi asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Reviono mengatakan laju kasus Covid-19 mempengaruhi perubahan status dari pandemi menjadi endemi. "Faktor yang dapat mempengaruhi perubahan status pandemi jadi endemi yakni kasus stabil atau setidaknya dapat diprediksi," kata Dekan Fakultas Kedokteran UNS sekaligus Dokter Spesialis Paru dan Konsultan tersebut di Solo, Rabu.

Ia mengatakan suatu penyakit dikatakan endemi jika angka reproduksi rata-rata stabil pada angka 1, artinya satu orang yang terinfeksi rata-rata menginfeksi 1 orang lainnya. "Kemudian angka kematian yang rendah dan dapat diterima masyarakat serta cakupan vaksinasi yang luas. Para ahli pun mengatakan, peningkatan kekebalan tubuh baik dengan vaksinasi atau infeksi alami dapat membantu mendorong kita ke endemi dengan Covid-19," katanya.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah munculnya imunitas kelompok di mana sudah terbentuk sistem kekebalan dalam masyarakat sehingga tidak akan terkena virus. Hingga saat ini, menurut dia harapan agar pandemi berubah menjadi endemi tengah diupayakan oleh pemerintah, salah satunya memastikan setiap orang mendapatkan perlindungan kekebalan dengan vaksinasi.

"Dengan demikian, penularan akan Covid-19 berkurang dan hanya sedikit yang harus rawat inap juga rendahnya angka kematian meski virus terus beredar," katanya.

Jika melihat sejarah pandemi flu 1918, setelah beberapa tahun fatal virus yang menyebabkan pandemi 1918 akhirnya mereda. "Ketika kekebalan populasi dari infeksi meningkat, kematian infeksi meningkat, kematian menurun, dan virus menjadi influenza musiman yang kurang mematikan meskipun keturunannya masih beredar sampai sekarang," katanya.

Meski sudah tidak lagi menjadi pandemi, dikatakannya, virus dari flu 1918 tidak hilang sepenuhnya. Diharapkan kondisi tersebut juga terjadi pada Covid-19, di mana terjadi perubahan status dari pandemi ke endemi. "Saat ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menuju situasi di mana kita memiliki begitu banyak kekebalan dalam populasi, sehingga kita tidak akan lagi melihat epidemi yang sangat mematikan," katanya.

photo
Tiga Skenario Pandemi Menuju Endemi - (infografis republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement