Senin 14 Mar 2022 20:26 WIB

Kemenag Membantah Logo Halal Baru Jawa Sentris

Gunungan, seperti di logo halal baru, bukan cuma budaya wayang Jawa.

Warga menunjukkan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertera di mie instan impor dengan latar belakang logo halal Indonesia di Jakarta, Senin (14/3/2022). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan label halal yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rossi Handayani, Fuji E Permana

Polemik terkait logo baru label Halal Indonesia belum juga usai. Pemilihan logo baru dinilai bersifat Jawa sentris karena bentuknya terinspirasi dari gunungan di wayang Jawa.

Baca Juga

Kementerian Agama menyatakan pemilihan bentuk gunungan dan batik lurik dalam label Halal Indonesia yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bukan berarti Jawa sentris. "Pemilihan label halal yang menggunakan media gunungan wayang dan batik lurik itu tidak benar kalau dikatakan Jawa sentris," ujar Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Mastuki, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (14/3/2022).

Pemilihan bentuk wayangan ini memang menuai reaksi masyarakat. Label halal yang baru ini dianggap malah tak memudahkan masyarakat dalam mengidentifikasi produk halal. Pada bentuk lama yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) identifikasi kehalalan produk lewat logo terlihat jelas karena menggunakan bahasa Arab dalam penulisan halalnya.

Sementara pada bentuk baru, menggunakan kaligrafi serta berbentuk gunungan wayang. Kendati ada tulisan latin Halal Indonesia di bawah kaligrafi halal, namun masyarakat masih belum bisa menerima bentuk dari logo terbaru.

Mastuki menjelaskan tiga hal yang menjadi dasar pemilihan logo baru. Pertama, baik wayang maupun batik sudah menjadi warisan Indonesia yang diakui dunia. Keduanya ditetapkan UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya non bendawi (intangible heritage of humanity).

Bagi BPJPH, baik batik maupun wayang merupakan representasi budaya Indonesia yang bersumber dari tradisi, persilangan budaya dan hasil peradaban yang berkembang di wilayah Nusantara. "Wayang ditetapkan (UNESCO) pada 2003, sedang batik ditetapkan enam tahun kemudian, yaitu pada 2009," ujar Mastuki.

Kedua, gunungan wayang tidak hanya digunakan di Jawa. Menurutnya, dalam sejumlah tradisi masyarakat yang lekat dengan wayang, juga menggunakan gunungan. Ia mencontohkan wayang Bali dan wayang Sasak yang sama-sama menggunakan gunungan. "Wayang golek yang berkembang di Sunda juga menggunakan gunungan," kata dia.

Ketiga, penetapan label halal Indonesia dilakukan melalui riset yang lama dan melibatkan ahli. BPJPH, kata dia, tidak serta merta menetapkan label halal ini hanya pada satu pertimbangan, tapi berbagai pertimbangan.

Menurut dia, pertimbangan besarnya adalah bagaimana label yang akan menjadi brand untuk produk yang beredar di Indonesia maupun luar negeri dan bersertifikat halal memiliki makna, diferensiasi, konsistensi dan distingsi (keberbedaan). "Distingsi ini bukan asal berbeda, tapi keberbedaan yang menjadi ciri khas dari Indonesia, sekaligus menghubungkan antara keindonesiaan dan keislaman. Keduanya sudah menyatu dalam peradaban kita beratus tahun, sehingga penggunaan elemen bentuk, elemen warna dari budaya yang berkembang di Indonesia sangat sah dan dapat dipertangungjawabkan," kata dia.

Ia mengatakan ramuan dari berbagai elemen bentuk, corak dan warna itulah yang menjadi dasar desain label halal, ditambah dengan studi elemen visual bentuk logo/label yang digunakan Badan/Lembaga Sertifikasi Halal seluruh dunia. "Ada 12 opsi/alternatif desain label halal yang disodorkan ke BPJPH dengan berbagai bentuk yang sangat kaya merepresentasikan kekayaan budaya Islam dan Indonesia," kata dia.

Baca juga : MUI Tegaskan Masih Berwenang Tentukan Fatwa Halal

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan, pembuat logo halal terbaru oleh BPJPH dilatarbelakangi keinginan mengadaptasi kearifan lokal. "Soal memakanainya ya tergantung cara kita memandangnya. Yang jelas bahwa pembuat logo ini memiliki tujuan huruf Arab halal ini mengadaptasi kearifan lokal yang dimiliki budaya bangsa kita," kata Ace pada Senin.

Ace menegaskan bahwa penerbitan logo halal merupakan amanat dari UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Di mana kewajiban BPJPH itu membuat logo halal yang berlaku secara nasional.

"Soal logo tersebut diinterpretasi atau dimaknai secara berbeda-beda tentu tergantung dari sudut pandang masing-masing yang menilainya," kata Ace.

"Bagi saya, yang terpenting tulisan Arab itu ya mengandung kata halal dan sudah terkandung dalam tulisan Arab yang bermakna itu. Sepengetahuan saya jenis tulisan itu dalam kaligrafi Arab termasuk dalam kategori khat kufi," lanjutnya.

Baca juga : Kemenag Jelaskan Filosofi Logo Halal Baru Mirip Gunungan Wayang

Adapun bentuk label halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas lancip ke atas. Hal itu disebut melambangkan kehidupan manusia.

"Bagi orang yang terbiasa membaca huruf Arab dengan berbagai jenisnya, tentu akan mudah untuk membacanya bahwa itu huruf Arab yang artinya halal. Tapi bagi yang tak terbiasa membaca arab, pasti masih teramat asing. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan kepada masyarakat lebih luas soal logo tersebut," kata Ace.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement