Jumat 11 Mar 2022 05:57 WIB

Sinergi BKKBN dan Kemenag dalam Program Pencegahan Stunting dari Hulu

Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi sebesar 24,4 persen

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dokter Hasto Wardoyo, bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati memulai Kick Off penanganan stunting di Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang, Senin (8/11).
Foto: BKKBN
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dokter Hasto Wardoyo, bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati memulai Kick Off penanganan stunting di Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang, Senin (8/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) melakukan sinergitas dan kolaborasi dalam program pencegahan stunting mulai dari hulu. Upaya tersebut dilakukan agar pencegahan stunting dapat ditindaklanjuti dan diimplementasikan hingga level akar rumput. 

Sinergitas dan kolaborasi tersebut diwujudkan dalam bentuk launching program Pendampingan, Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan dalam Tiga Bulan Pra Nikah sebagai Upaya Pencegahan Stunting dari Hulu kepada Calon Pengantin. Acara tersebut akan dilaksanakan pada Jumat (11/3) pagi ini di Pendopo Parasamya Kabupaten Bantul Provinsi DIY. 

Baca Juga

Menurut Direktur Komunikasi, Informasi dan Edukasi BKKBN, Eka Sulistia Ediningsih, Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi, yaitu 24,4 persen artinya 1 dari 4 anak di Tanar Air stunting dan masih di atas angka standar yang ditoleransi WHO, yaitu di bawah 20 persen. Ia mengatakan, Stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

Ia menambahkan, stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya. Stunting biasanya pendek (walau pendek belum tentu stunting),  dan gangguan kecerdasan. Problematika stunting akan menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin buruk, stunting dapat menyebabkan kemiskinan antargenerasi yang berkelanjutan.  Selain itu stunting dapat menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan otak, 

"Stunting juga dapat menjadi pemicu penderitanya terkena penyakit metabolik seperti diabetes dan sebagainya, juga penyakit yang berkaitan dengan jantung pada penderitanya di masa dewasa."   

Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan ini, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam kedepan. Berkenaan dengan hal tersebut lanjut Eka, BKKBN bekerja sama dengan kementerian lembaga terkait yang tergabung dalam Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) membuat program wajib pendampingan, konseling untuk para calom pengantin.

Program pendampingan bagi calon pengantin ini dilakukan  dengan didahului  oleh pemeriksaan kesehatan dasar yang meliputi tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan kadar Hb yang dilakukan minimal 3 bulan sebelum menikah.

Kondisi ideal

Tindakan tersebut bertujuan untuk memastikan setiap calon pengantin/calon pasangan usia subur (Catin/Calon PUS) berada dalam kondisi ideal untuk menikah dan hamil. Oleh karena itu, setiap Catin/Calon PUS harus memperoleh pemeriksaan kesehatan dan pendampingan selama 3 bulan pranikah serta mendapatkan bimbingan perkawinan dengan materi pencegahan stunting

Harapannya faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada Catin/Calon PUS dapat teridentifikasi dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil. Salah satu fokus dalam pendampingan menurut Eka, adalah meningkatkan pemenuhan gizi Catin/Calon PUS untuk mencegah kekurangan energi  kronis dan anemia sebagai salah satu risiko yang dapat melahirkan bayi stunting

Penurunan stunting

Pendampingan ini akan dilakukan oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu kader KB, PKK, dan Bidan/petugas kesehatan yang diberikan tugas untuk memberikan informasi, edukasi, dan konseling secara virtual atau tatap muka kepada calon pengantin yang akan melakukan pernikahan dalam waktu dekat.

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Kebijakan pencegahan stunting dari hulu tertuang sebagai berikut:

1. Remaja dan Catin merupakan sasaran (pasal 3 poin a dan b)

2. Pendampingan semua Catin/Calon PUS merupakan kegiatan prioritas yang   harus ada dalam RAN (pasal 8 ayat (3))

3. Pendampingan semua Catin/Calon PUS wajib diberikan 3 (tiga) bulan pra nikah sebagai bagian dari pelayanan nikah (pasal 9 ayat (3))

4. Indikator “Cakupan calon PUS yang memperoleh pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan nikah” dengan target 90 persen di tahun 2024 (lampiran A)

Data menunjukan masih terdapat remaja putri usia 15-19 tahun dengan kondisi berisiko kurang energi kronik sebesar 36,3 persen, wanita usia subur 15-49 tahun dengan risiko kurang energi kronik masih 33,5 persen dan mengalami anemia sebesar 37,1 persen. 

Seperti diketahui, tingginya angka anemia dan kurang gizi pada remaja putri sebelum menikah sampai pada saat perempuan itu hamil berpotensi menghasilkan anak stunting. Oleh karena itu pencegahan stunting harus dilakukan sejak tiga bulan sebelum menikah. Hal ini dilakukan dengan alasan apabila ditemukan ketidaknormalan (kondisi patologis) bagi calon isteri maka dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memperbaiki kondisi patologis tersebut. 

Kasus yang paling sering adalah anemia pada remaja puteri yang memerlukan konsumsi tablet tambah darah selama 90 hari. Begitu juga apabila Catin perempuan mengalami kondisi under-nutrition seperti kurang kalori protein atau defisiensi/kekurangan vitamin yang lain maka dibutuhkan waktu minimal tiga bulan untuk perbaikan keadaan tersebut. 

Bagi Catin laki-laki, produksi sperma untuk persiapan pembuahan dan menghasilkan keturunan yang sehat, membutuhkan prakondisi dan kebugaran bagi laki-laki minimal 73 – 75 hari sebelumnya (sesuai dengan teori proses pembentukan sperma/spermatogenesis yang berlangsung selama waktu tersebut.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement