Kamis 10 Mar 2022 05:19 WIB

Abdul Mu'ti Nilai Saat Ini Ada Gejala Pemimpin Narsis

Pemimpin yang narsis menjadi salah satu gejala yang membuat demokrasi menurun.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu
Foto: Dok Muhammadiyah
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menilai bahwa saat ini ada gejala-gejala yang membuat demokrasi di Indonesia semakin menurun. Salah satunya adalah timokrasi, ketika para pemimpin paling suka dipuji akan keberhasilannya.

Timokrasi sendiri adalah kondisi ideal seperti kehormatan dan kemuliaan pemimpin yang jadi ukuran untuk memimpin sebuah negara. Bukan lagi berdasar keturunan, kekuasaan, atau pemberian hak istimewa.

Baca Juga

"Akhir-akhir ini muncul gejala yang jarang kita kenal, tapi sudah ada di pemerintahan, ada timokrasi. Timokrasi itu adalah negara yang para pemimpinnya itu suka dipuji-puji, paling suka disanjung-sanjung, pemimpin yang narsis, narsis menyebut-nyebut keberhasilannya sendiri," ujar Mu'ti dalam sebuah diskusi daring, Rabu (9/3/2022).

Selain itu, ia melihat kembali adanya plutokrasi yang pernah terjadi ketika masa Orde Baru. Mu'ti menjelaskan, plutokrasi adalah ketika pemerintahan diatur oleh konglomerat dan mereka menyetir keputusan politik, militer, dan ekonomi suatu negara karena ingin mempertahankan kekayaan.

"Sepertinya plutokrasi itu masih juga terjadi," ujar Mu'ti.

Kemudian, ia melihat adanya kleptokrasi ketika negara dikuasai oleh pihak-pihak yang melakukan korupsi. Hal ini berdampak kepada merajalelanya korupsi dan perbuatannya tersebut dianggap menjadi sebuah budaya.

"Sehingga kita menjadi negara dikuasai oleh pencuri dan para pencolek. Ini kan kita melihat korupsi di Indonesia tidak mengalami penurunan yang signifikan sebagai bagian dari ciri sebuah negara yang demokrasinya bagus," ujar Mu'ti.

Ketiga hal tersebutlah yang disebutnya mencederai demokrasi di Indonesia, yang kemudian membuat demokrasi menjadi sekedar formalitas dalam pengambilan keputusan. Dampaknya, masyarakat akan bersifat apatis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

"Dalam pengertian 'saya bicara apa juga tidak ada efeknya dan lebih baik saya mengurusi apa yang menjadi kebutuhan pribadi saya'. Jadi publik apatisme ini menurut saya menjadi realitas baru yang berkontribusi mengapa indeks demokrasi kita turun," ujar Mu'ti.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement