Ahad 06 Mar 2022 06:33 WIB

Matahari Artifisial, Solusi Krisis Energi dan Perubahan Iklim?

Reaktor matahari artifisal ini diharapkan bisa menghasilkan energi tak terbatas.

Matahari artificial diharapkan menghasilkan energi tak terbatas. Ilustrasi rekor suhu matahari artificial made in China.
Foto: republika
Matahari artificial diharapkan menghasilkan energi tak terbatas. Ilustrasi rekor suhu matahari artificial made in China.

Oleh : Dwi Murdaningsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Sebuah laporan PBB pada pekan lalu menyebutkan bahwa korban jiwa akibat polusi lebih tinggi dibandingkan covid-19. Polusi dari pestisida, plastik, dan limbah elektronik menyebabkan 9 juta kematian dini. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kematian akibat pandemi yang telah tercatat hampir 5,9 juta kematian.

Di tengah kabar yang tidak enak itu, setidaknya ada angin segar bahwa manusia kini sedang melangkah menuju energi bersih. Penulis berharap energi bersih ini selain bisa menjadi jawaban atas masalah polusi dan juga perubahan iklim.

Energi bersih yang dimaksud adalah energi matahari buatan atau matahari artificial. Kita ketahui bahwa energi matahari adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup di Bumi. Kini, manusia pun mencoba membuat matahari artificia dengan meniru reaksi fusi nuklir yang seperti terjadi di dalam matahari.

Reaktor matahari artifisal ini diharapkan bisa menghasilkan energi tak terbatas, energi terbarukan. Semoga saja, ini juga bisa menjadi pengganti energi fosil, si kambing hitam di balik peristiwa perubahan iklim dan pemanasan global.

Berbagai negara telah mengembangkan reaktor matahari artificial yang menghasilkan energi fusi nuklir. Energi fusi nuklir memiliki energi yang sangat besar. Hebatnya, energi ini tidak mengeluarkan emisi karbon, gas rumah kaca atau limbah radioaktif sehingga diharapkan bisa menjadi solusi bagi masalah perubahan iklim.

China, Korea, Inggris dan Eropa adalah negara-negara yang sedang mengembangkan energi fusi nuklir. Sejauh ini, reaktor fusi nuklir negara-negara tersebut masih dalam tahap uji coba. Namun, hasilnya membawa sebuah harapan baru. Energi yang sangat besar.

Reaktor China’s Experimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST) pada bulan Januari 2022 lalu berhasil menjalankan suhu 70 juta derajat Celcius dengan durasi 1.056 detik atau sekitar 17 menit.

Reaktor buatan Korea, The Korea Superconducting Tokamak Advanced Research (KSTAR) dalam eksperimennya pada akhir tahun 2020 mampu menghasilkan dan mempertahankan suhu 100 juta derajat celcius selama 20 detik.

Sementara itu, reaktor kerja sama Inggris dan Eropa Joint European Torus (JET) memecahkan rekor energi 59 megaJoule energi selama 5 detik. Capaian ini bukanlan energi yang besar dibandingkan China dan Korea, namun ini diharapkan akan menjadi dasar untuk proyek Reaktor Eksperimental Termonuklir Internasional (ITER)  di Prancis dijadwalkan untuk eksperimen fusi pada 2025.

Tak ketinggalan, Jepang juga berencana membangun pabrik eksperimental pertama untuk menghasilkan tenaga fusi nuklir. Jepang berencana membuat reaktor yang bisa menghasilkan panas dengan suhu lebih dari 100 juta celsius.

Reaktor matahari artificial bukanlah sesuatu yang murah. Untuk menghasilan energi ini dibutuhkan penelitian yang super mahal. Sebagai gambaran, proyek ITER Proyek ambisius senilai 22 miliar dolar AS atau sekitar Rp 316 triliun.

Meski membutuhkan investasi tinggi, ini adalah sebuah harapan baru tentu dibandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi akibat perubahan iklim. Penulis rasa, angka tersebut bisa dianggap sepadan.

Sebagai contoh, hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi Rp 544 triliun hingga tahun 2024. Angka ini dihitung dari potensi kerugian akibat gagal panen hingga peningkatan biaya kesehatan. Perlu dicatat, angka ini hanya mencakup kajian di Indonesia saja ya.

Saat ini dunia menghadapi ancaman perubahan iklim dengan semakin banyaknya gas rumah kaca yang dikeluarkan. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan bahwa level karbon dioksida pada tahun 2020 bertambah 413,2 bagian per juta dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut bertambah di atas rata-rata selama satu dekade terakhir meski sempat terjadi penurunan selama lockdown akibat pandemi Covid-19.

Beberapa negara pun telah mengumumkan ambisi nol emisi gas rumah kaca. Contohnya, Arab Saudi sebagai salah satu eksportir minyak terbesar di dunia mengumumkan 2060 akan zero karbon. Indonesia juga menargetkan nol emisi karbon pada 2060.

Mungkin masih jauh langkah menuju nol emisi karbon, apalagi bagi negara maju maupun negara berkembang memiliki target dan sumber daya yang berbeda-beda. Namun, setidaknya penulis merasa membuat reaktor matahari artificial adalah sebuah ikhtiar nyata menuju ke sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement