REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah meneken keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022 atau Kepres 1 Maret tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara. Namun Kepres ini menuai polemik karena nama Presiden RI ke-2 Soeharto tak ada dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Perdebatan pun terasa di dunia maya. Politikus Gerindra Fadli Zon dan Menko Polhukam Mahfud MD saling melempar cicitan terkait dengan isu ini. "P @mohmahfudmd mari ajak diskusi/debat saja sejarawan di belakang Keppres itu. Kita bisa adu data dan fakta. Tapi jgn belokkan sejarah!," tulis Fadli Zon, Jumat (4/3/2022).
Menko Polhukam membalas permintaan Fadli Zon. Mahfud meminta Fadli Zon mengajak sendiri sejarawan itu untuk berdebat. "Silahkan, langsung ajak sendiri kalau mau debat, Pak. Pak @fadlizon kan bisa hubungi dia, bahkan bisa jg langsung ajak debat ke Gubernur DIY. Tim Naskah Akademik Pemda DIY dan sejarawan UGM itu sdh berdiskusi sejak 2018. Sy rak ikut di sana. St jg tak sempat jd Panitia debat."
Dalam kicauan terdahulu, Fadli Zon mengatakan, bahwa ia sudah membaca Kepres No 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negera. Ia meminta Kepres itu direvisi karena menghilangkan peran Soeharto dan PDRI. "Sy sdh baca Keppres No 2/2022 ttg Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah byk salah. Selain menghilangkan peran Letkol Soeharto sbg Komandan lapangan, juga hilangkan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Fatal. @jokowi @mohmahfudmd."
Mahfud MD pun menjelaskan persoalan itu dalam kicauan-kicauannya. Ia mengatakan, Kepres tersebut bukan buku sejarah, tapi penetapan atas satu titik krusial sejarah. Kepres itu, kata Mahfud MD, tak menghilangkan nama Soeharto di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Nama dan peran Soeharto disebutkan di Naskah Akademik Kepres yang sumbernya komprehensif.