Banyuwangi - Ngopi tidak hanya telah menjadi lifestyle masyarakat Indonesia, tapi terdapat peluang bisnis di dalamnya. Di Banyuwangi kini banyak anak-anak muda yang mencoba peluang di ekosistem pengolahan kopi.
Memfasilitasi anak-anak muda menjadi entreprenuer kopi, Banyuwangi menggelar "Banyuwangi Coffe Week" di Gedung Djuang 45, 25-27 Februari 2022.
Di Banyuwangi Coffe Week bisa disebut menjadi surganya penikmat kopi. Selama tiga hari dihadirkan para ahli kopi dan berbagai produk kopi Banyuwangi.
Sebut saja Iwan Subekti, yang merupakan tester kopi dan telah berkeliling ke penjuru dunia sebagai juri kopi seperti Brasil, Amerika Serikat, Jepang hingga negara-negara di Asia Tenggara.
Produk kopi milik Iwan yang telah terkenal dan menjadi rujukan cara mengolah kopi dengan benar, Kopai Osing, ada di acara ini.
Selain Kopai Osing, berbagai produk hasil olahan pelaku usaha kopi Banyuwangi di sekitar kawasan Kawah Ijen dan Gunung Raung juga dihadirkan di Banyuwangi Coffe Week.
Seperti Kopi Telemung, Kasela Coffe, House of Coffe, Leaf Coffe, Kemangi Coffe, Coffe Wangi dan serta berbagai produk kopi Banyuwangi lainnya.
"Ngopi sudah menjadi gaya hidup. Di Banyuwangi kopi sedang tumbuh dengan pesat. Kopi lokal Banyuwangi menjadi salah satu produk Indonesia yang terus mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Kini di Banyuwangi telah banyak muncul kedai-kedai kopi yang dikelola anak-anak muda Banyuwangi," kata Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani dalam siaran pers yang diterima redaksi, Sabtu (26/2/2022).
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2021 Banyuwangi menghasilkan kopi sebesar 10.575 ton. Menjadikan Banyuwangi menjadi salah satu penghasil kopi terbesar di Jatim.
Kopi yang dihasilkan di Banyuwangi didominasi perkebunan rakyat. Banyuwangi juga dikenal Berbagai produk kopi Banyuwangi juga telah diekspor ke berbagai negara.
"Melalui Banyuwangi Coffee Week, diharapkan mampu meningkatkan ekonomi kreatif di sektor kopi lokal Banyuwangi. Ini menjadi wadah bagi anak-anak muda Banyuwangi, mulai dari yang akan hingga telah menjadi entreprenuer di bidang kopi," ungkap Ipuk.
Ipuk menambahkan, Banyuwangi Festival bukan hanya sekadar seremonial saja. Namun harus ada unsur pertumbuhan ekonomi.
"Dari Banyuwangi Coffe Week ini diharapkan banyak yang terdorong menjadi entreprenuer kopi. Selain itu bisa menjadi ajang pertemuan para pelaku kopi. Bisa saling mengenal, saling membantu, yang endingnya ada hubungan bisnis to bisnis," jelas Ipuk.
Di Banyuwangi Coffe Week, selain memamerkan produk-produk kopi lokal Banyuwangi juga terdapat coffe coaching clinic bagi mereka yang ingin terjun di dunia kopi.
Puluhan anak muda dari berbagai kalangan, seperti santri dari pondok pesantren, pemuda gereja dan lainnya ikut dalam coaching clinic yang dipandu Bayu Satria dari Coffe Wangi.
Di coaching clinic tersebut, mereka dilatih cara mengolah dan menjadi barista kopi, mulai cara menggoreng hingga penyeduhan kopi.
"Saya suka kopi dan tertarik untuk mendalami kopi. Di sini saya diajarkan bagaimana cara mengolah kopi," tutur Yusril Hamdani, santri dari Pondok Pesantren Al Anwari Banyuwangi.
Di Banyuwangi Coffe Week juga diperkenalkan sejarah industri kopi di Banyuwangi. Industri kopi mulai hadir di Banyuwangi sekitar abad ke-17 M. Banyuwangi yang memiliki lahan cukup luas di lereng Gunung Ijen, sangat mendukung keberlangsungan program penanaman kopi.
Mencermati perkembangan niaga yang semakin menjanjikan, membuat Clement de Harris, Residen pertama Besuki, memutuskan untuk menanam kopi di perkebunan Sukaraja (kini Kecamatan Giri) pada Tahun 1811.
Perkebunan tersebut kemudian dijadikan lahan pembibitan kopi. Namun, kurangnya penduduk yang tinggal di Banyuwangi kala itu menyulitkan pemerintah kolonial untuk memenuhi target produksi.
Selain Sukaraja, dalam rentang waktu 1818-1865 ada beberapa perkebunan baru di wilayah Banyuwangi selatan yang sengaja dibuka untuk memenuhi target produksi seperti di Desa Genteng ada 36 kebun dan Desa Parijatah ada 32 kebun.
Dengan jumlah rata-rata setiap kebun mampu menanam antara 1.565-11.410 pohon. Hingga medio 1887-1889 produksi kopi di Afdeling Banyuwangi masih mampu mencatatkan hasil sebesar 13.630 pikul.