REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, mengkritik solusi penanganan sampah di DKI Jakarta. Menurut dia, Pemprov DKI sebenarnya memiliki banyak kebijakan soal sampah yang memadai tapi tidak diiringi dengan implementasi yang baik dan cenderung berakhir darurat sampah.
Melalui Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga, dia mencontohkan, rumah tangga sebenarnya wajib melakukan pemilahan sebelum menyetor sampah. Namun demikian, hal penting yang luput adalah penyadaran masyarakat soal persoalan sampah.
“Seperti menggantang asap, mengukir langit, begitu kira-kira upaya pengelolaan sampah DKI Jakarta. Di Hari Peduli Sampah Nasional 2022, bukannya membaik, Jakarta justru menuju kondisi darurat sampah,” tutur Aminullah dalam keterangannya di Jakarta, Senin (21/2/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun WALHI Jakarta, timbulan sampah harian Jakarta dari tahun 2015 sampai tahun 2020 cenderung mengalami peningkatan. Dari tahun 2015 yang hanya sekitar 7.000 ton menjadi 8.300 ton pada tahun 2020. “Peningkatan tersebut diperparah dengan rendahnya jumlah sampah yang berhasil dikurangi sebelum masuk Bantargebang,” tutur dia.
Bahkan, pada 2020, dari 8.369 ton timbulan sampah yang dihasilkan, hanya 945 ton sampah yang berhasil dikurangi. Sementara 7.424 ton sisanya di buang ke Bantargebang. Kondisi tersebut, dinilai Aminullah memunculkan masalah di hilir, Bantargebang, sebagai tempat pengolahan akhir sampah Jakarta yang harusnya hanya menerima sampah residu.
Dengan buruknya kondisi pengolahan sampah di DKI, Bantargebang harus menampung berbagai jenis sampah. Akibatnya, per tahun 2020 TPST Bantargebang benar-benar lumpuh. “Volume eksisting TPST Bantargebang sudah mencapai 22.387.370 meter kubik, melebihi kapasitas penampungan yang hanya 21.879.000 meter kubik. Meskipun Pemprov DKI telah menambah luas TPST Bantargebang pada 2021, bukan berarti masalah sampah Jakarta sudah selesai,” jelasnya.