Kamis 17 Feb 2022 19:37 WIB

Kematian Covid Banyak Disumbang Pasien Belum Divaksin Lengkap, Angka Drop Out Pun Besar

Angka kematian dari pasien yang belum atau tidak dapat divaksin lengkap, 68 persen.

Siswa berkostum super hero memberi semangat kepada siswa yang menjalani vaksinasi COVID-19 di Sekolah Pembangunan Jaya (SPJ) 2 Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (17/2/2022). Vaksinansi COVID-19 bagi siswa Sekolah Dasar usia 6-11 tahun itu sebagai upaya percepatan vaksinasi anak dan mendukung pembelajaran tatap muka secara aman.
Foto:

Jumlah kematian Covid-19 di Indonesia memang terus bertambah setiap harinya, pada Kamis (17/2/2022), sebanyak 206 orang meninggal akibat Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Sehingga, jumlah keseluruhan kasus meninggal akibat Covid-19 tercatat menjadi 145.828 orang.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyatakan ada empat hal terkait kematian Covid-19 di Indonesia. Pertama, angka yang meninggal karena penularan varian Omicron saat ini ini jauh lebih rendah dari angka yang wafat pada saat penularan Delta sampai mencapai 2.000 orang. 

Namun, menurut Tjandra, akan baik bila disadari bahwa, warga yang meninggal dunia tidaklah dapat semata-mata digambarkan dengan angka perbandingan.

"Perlu pula dilihat bagaimana dampak pada keluarga yang ditinggalkan, nyawa yang hilang tidak tergantikan, serta berbagai pertimbangan aspek lainnya," tegas Tjandra. 

Kedua, sambung Tjandra, Kementerian Kesehatan sudah melakukan analisis 1.090 pasien yang meninggal sampai 13 Februari 2022. Antara lain disebutkan bahwa 68 persen di antaranya belum divaksinasi lengkap.

Disampaikan juga data bahwa 49 persen yang wafat masuk golongan lanjut usia, artinya 51 persen belum lanjut usia. Kemudian, 48 persen memiliki komorbid, atau 52 persen tidak memiliki komorbid. Tentu saja, kata Tjandra, dalam angka tersebut ada gabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.

Ketiga, Tjandra mengusulkan agar analisis kematian ini dapat dilakukan dengan lebih mendalam. Setidaknya ada lima bentuk yang dapat dibuat.

"Yakni penentuan cause of death (COD), apakah  karena Covid-19 dengan badai sitokin misalnya, atau barangkali justru karena perburukan komorbid yang ada, atau gabungan keduanya, dan lainnya," ujarnya.

Kemudian, perlu juga analisis bagaimana perjalanan klinis dari mulai pasien tertular, manifestasi gejala awal dan proses perburukannya sampai pasien wafat. Diperlukan juga data berapa perbandingan antara Omicron dan varian lain pada mereka yang meninggal dunia.

"Harus dianalisis apakah wafat di rumah sakit atau di rumah atau mungkin di tempat lain," ujarnya.

Perlu pula, Tjandra melanjutkan, dihitung waktu yang dibutuhkan proses penanganan, yang biasa dikenal dalam bentuk patient’s delay atau doctor’s delay atau health system delay atau mungkin hospital delay dan lainnya. Akan baik sekali kalau hasil analisis ini dipublikasi di jurnal ilmiah sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan di waktu mendatang.

Hal terakhir adalah terkait keterisian rumah sakit. Diketahui, bahwa sekarang angka BOR rumah sakit masih rendah, sekitar 30 persen itupun belum dihitung dari kapasitas maksimal. 

"Jadi, usul konkrit saya lainnya untuk mengantisipasi peningkatan kasus yang meninggal adalah dengan kemungkinan merawat di RS pasien yang masih gejala ringan tetapi punya risiko untuk menjadi berat dan bukan tidak mungkin meninggal dunia. Nanti kalau BOR sudah meningkat maka kebijakan dapat disesuaikan lagi," ujar Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.

 

photo
Son of Omicron atau BA.2. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement