Selasa 15 Feb 2022 09:40 WIB

Prabowo Beli Rafale, Pengamat: Indonesia Non-Blok Harus Memiliki Pertahanan Kuat

Indonesia netral dan tidak bisa tak punya kekuatan pertahanan yang kuat.

Pengamat pertahanan dari Binus University, Curie Maharani Savitri.
Foto: Tangkapan layar
Pengamat pertahanan dari Binus University, Curie Maharani Savitri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertahanan dari Binus University, Curie Maharani Savitri menyatakan, pertahanan Indonesia harus kuat. Hal itu karena Indonesia adalah negara netral atau tergabung dalam non-blok. Dengan demikian, sambung dia, langkah pemerintah memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista), melalui pengadaan jet tempur Rafale dan F-15 patut didukung.

"Dengan politik luar negeri kita yang bebas aktif, kita netral. Tetapi netral itu tidak bisa kita enggak punya pertahanan yang kuat. Bagaimana agar pertahanan kita kuat. Kita buat skenario, gimana di masa depan kalau terjadi perang," kata Curie dalam diskusi daring bertajuk 'Butuh Banget Belanja Pesawat Tempur 315 Triliun?' di Jakarta, Senin (14/2/2022).

Baca Juga

Pembelian enam dari 42 pesawat tempur Dassault Rafale produksi Dassault Aviation asal Prancis sudah resmi dteken Kemeterian Pertahanan (Kemenhan) dan perwakilan Dassault Aviation di Jakarta, Kamis (10/2/2022). Menhan Prabowo Subianto dan Menhan Prancis Florence Parly turut hadir dan menyaksikan penandatangan kontrak tersebut.

Curie menjelaskan, penguatan sistem pertahanan sangat mendesak dilakukan, sebab Indonesia berada dalam ancaman geopolitik yang berada di antara negara yang sedang berkonflik. "Lalu kita sendiri mau membawa pertahanan kita ke mana?" ujarnya.

"Kita tahu ada persaingan antara negara superpower di kawasan ini, yang pusatnya di sini. Kemudian kita tahu ada beberapa konflik yang bisa dijadikan proxy untuk mereka menjadikan perang terbuka. Salah satunya di Selat Taiwan dan yang lain ada di Laut China Selatan," kata Curie menambahkan.

Kedua kekuatan besar dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China, lanjut Curie, juga sudah saling berbalas pantun dengan pernyataan yang mengarah kepada panasnya hubungan antara kedua negara. Dia mencontohkan, pernyataan Presiden AS Joe Biden yang secara terbuka menyatakan kalau ada yang menyerang Taiwan, negaranya siap membela.

Begitu juga dengan ketegangan di Laut China Selatan, Curie menegaskan, AS dan sekutunya, khususnya NATO sudah melakukan Freedom of Navigation (FoN) operations, yang menempatkan mereka di jantung konflik negara anggota ASEAN dengan China.

Curie juga melihat China mulai beberapa waktu lalu, memprotes adanya aktivitas drilling Indonesia di perairan Natuna Utara. "Dan kalau kita lihat dalam sejarah konflik di kawasan ini, kita melihat ada pengembangan kekuatan oleh China yang arahnya nanti adalah untuk menguasai ruang udara dan maritim sampai ke Guam dan akan menahan Amerika Serikat dan sekutunya di luar itu," jelas Curie.

Dia menyebut, China juga telah melakukan beberapa aksi blocking kepada Filipina dan Vietnam. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Indonesia mengalami hal yang sama? "Lalu apa yang akan kita lakukan. Mungkin kita tidak akan mengalami invasi langsung. Tapi akan ada kedaulatan yang di-challenge, apakah kita rela?"

Karena itulah, kata Curie, Indonesia tetap bersikap netral dan pertahanan perlu diperkuat untuk mempertahankan kedaulatan.

Dia mencontohkan, Swedia yang menghabiskan dana di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka selama beberapa dekade untuk menjamin netralitas mereka. "Nah, kembali kepada kita. Kita ingin netral, kita tidak ingin ikut dalam konflik. Karena itu kita harus bisa menjaga netralitas kita dengan pertahanan yang baik. Itu salah satu alasan kenapa kita butuh penguatan ruang udara dan dengan pengadaan pesawat Rafale ini," ucap Curie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement