REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) kecewa dengan putusan Pengadialn Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta yang menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nihil. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi menilai, putusan pidana nol dari majelis hakim tersebut tak memenuhi rasa keadilan, dan menciderai asas-asas penerapan hukum beracara.
Supardi mengatakan, Jampidsus akan melakukan banding melawan putusan PN Tipikor tersebut, ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta demi keadilan. “Prinsipnya kami, selaku penuntut umum tetap menghargai putusan itu. Tapi kami memandang bahwa putusan itu terjadi kekeliriuan formal,” ujar Supardi saat ditemui Republika di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Jakarta, Selasa (18/1).
Catatan kekeliruan putusan hakim tersebut, kata Supardi, akan dirumuskan dalam banding yang nantinya bakal dilakukan. “Itu nanti bagian dari kutipan kami untuk melakukan upaya hukum (banding),” ujar Supardi menambahkan. Pada Selasa (18/1), majelis hakim PN Tipikor Jakarta, memvonis Heru Hidayat, terdakwa korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT ASABRI bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 22,78 triliun.
Akan tetapi, dalam vonis bersalah tersebut tak dibarengi dengan hukuman badan. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat oleh karena itu dengan pidana nihil,” kata Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto, di PN Jakarta Pusat, Selasa (18/1). Hukuman badan nihil tersebut, dikatakan hakim, karena terdakwa Heru Hidayat telah mendapatkan hukuman badan penjara seumur hidup terkait kasus serupa yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara RP 16,8 triliun.
Karena putusan penjara seumur hidup tersebut, menurut hakim, terdakwa Heru Hidayat tak lagi dapat dikenakan hukuman badan tambahan. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah nihil,” begitu sambung putusan hakim.
Selain menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nol, majelis hakim juga tetap menghukum bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu dengan pidana pengganti kerugian negara senilai Rp 12,6 triliun. Hukuman pidana mengganti kerugian negara tersebut, sudah sesuai dengan tuntutan jaksa. Tetapi, soal pidana badan, hukum nihil tersebut jauh panggang dari api. Karena, dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum mendesak hakim untuk menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.
Dalam pertimbangan jaksa, pidana mati tersebut, layak dijatuhkan kepada terdakwa Heru Hidayat dalam kasus ASABRI, karena adanya perbuatan korupsi, dan TPPU pengulangan, dari kasus serupa di Jiwasraya. “Tetap kami hargai alasan hakim tersebut. Tapi kami tetap mengajukan hak kami untuk melakukan upaya hukum (banding), karena menurut kami, putusan seperti itu (nihil) tidak adil. Tidak adil bagi masyarakat, tidak adil bagi kepentingan nasabah, dan tidak adil bagi proses hukum,” sambung Supardi.
Menurut Supardi, pidana nol terhadap terdakwa Heru Hidayat itu inkonsisten dengan vonis bersalah yang menjadi satu-kesatuan dari putusan hakim. Menurut Supardi, vonis bersalah semestinya disertai dengan hukuman pidana. Dalam hal ini, kata dia, adalah hukuman badan atau pemenjaraan. “Menurut kami, hukuman yang paling adil itu seperti yang kami bacakan sebelumnya (dalam tuntutan). Karena melihat konstruksi kasus tersebut, dan besarnya kerugian negara,” ujar Supardi.
Kata Supardi, jikapun majelis hakim dalam putusannya tak setuju dengan tuntutan dari jaksa soal hukuman mati tersebut, pun menjadi tak tepat majelis pengadil mengukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nihil. Karena menurut dia, hukum acara pidana, membuka peluang bagi pengadilan, memberikan hukuman alternatif lain atas vonis bersalah tersebut. “Ada formulasi yang semestinya bersalah, semestinya juga dihukum. Konstruksi hukuman paling adil itu semestinya hukuman mati. Tetapi, jika mengacu Pasal 143 KUHAP, konstruksi hukuman lainnya juga bisa. Tidak harus nihil seperti itu,” ujar Supardi.