REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Ray Rangkuti menilai bahwa partai Golkar sebaiknya tidak memaksakan pencalonan Ketua Umum Airlangga Hartarto di 2024. Dia mengatakan, hal itu menyusul kecilnya elektabilitas Airlangga meskipun menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Dia menyebutkan bahwa minimnya elektabilitas Airlangga Hartarto juga berpotensi memberikan dampak negatif ke partai. Menurutnya, hal tersebut juga berpotensi menimbulkan penolakan hingga kembali membuat internal Partai Golkar dilanda konflik. "Jangan dipaksakan karena akan berimbas terhadap elektabilitas partai," kata Ray Rangkuti dalam keterangan, Senin (17/1/2022).
Dalam berbagai hasil survei, tingkat keterpilihan Airlangga kerap berada di bawah satu persen. Survei Voxpol Center misalnya yang mendapati elektabilitas Airlangga 0,8 persen. Angka tersebut menciut menjadi 0,2 persen dalam hasil riset Indikator Politik Indonesia.
Ray mengatakan, temuan itu menunjukkan sulitnya mengerek elektabilitas Airlangga. Meskipun, sambung dia, Airlangga saat ini tengah memegang beberapa jabatan strategis dan telah memasang baliho di sejumlah daerah.
"Susah meningkatkan elektabilitas Airlangga karena sekarang ini, kan, yang paling penting itu bagaimana mengeluarkan prestasi juga," kata dia.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) ini melanjutkan, pemasangan baliho, spanduk dan iklan di berbagai media bisa jadi meningkatkan elektabilitas Airlangga. Namun, dia mengatakan, kenaikan itu tidak akan signifikan bahkan bisa jadi tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan.
Ray mengungkapkan bahwa Airlangga masih memiliki waktu hingga 2023 untuk memoles reputasinya. Namun jika setahun menjelang pilpres kenaikan elektabilitasnya tidak signifikan atau di bawah lima persen maka bakal berdampak negatif terhadap partai. "Kalau tetap elektabilitasnya setahun naik dua sampai tiga persen, bagi saya sudah enggak ada harapan lagi," katanya.
Lebih lanjut, Ray mengungkapkan alasan minimnya elektabilitas Airlangga Hartarto. Dia mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan minimnya prestasi yang dimiliki Airlangga meskipun menjabat sebagai menteri dan beberapa posisi strategis lainnya. "Jadi kalau enggak ada prestasi, enggak ada sesuatu yang bisa dipercakapkan orang, apalagi yang bersangkutan ritmenya itu-itu saja," katanya.