Kamis 13 Jan 2022 15:21 WIB

Omicron Mewabah, Tujuh Sekolah Ditutup, Mengapa PTM 100 Persen Masih Jalan Terus?

Sekolah yang ditemukan kasus Covid-19 ditutup sementara oleh Pemprov DKI Jakarta.

Warga melintas di lapangan sekolah SMAN 71, Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (12/1/2022). Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen di sekolah tersebut diberhentikan sementara selama lima hari sampai Jumat (14/1/2022) setelah seorang siswa yang positif COVID-19.
Foto:

Menyusul mewabahnya varian Omicron di sekolah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta para pihak terkait untuk mempertimbangkan kembali kebijakan PTM 100 persen. 

"KPAI mendorong Kemendikbudristek, Kementerian Agama, dan dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk mempertimbangkan kembali menggelar PTM 100 persen," ungkap Komisioner KPAI, Retno Listyarti, lewat pesan singkat, Rabu (12/1/2022).

 Retno menjelaskan, beberapa waktu lalu dirinya melakukan pengawasan PTM 100 persen di tiga sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) di DKI Jakarta. Ketika berkeliling dari satu kelas ke kelas lainnya, dia melihat para peserta didik sulit untuk menjaga jarak antara satu sama lain.

"Ukuran ruangan kelas yang kecil dengan peserta didik antara 32-40 orang membuat jaga jarak yang ideal antara satu siswa dengan siswa lainnya di masa pandemi menjadi sulit dilakukan. Padahal lamanya jam belajar ditambah, yang semula hanya 4 jam per hari menjadi 6 jam per hari," kata dia.

Dia melihat standar operasional prosedur (SOP) kedatangan siswa sebenarnya sudah disiapkan dan dilaksanakan dengan baik, mulai dari pengecekan barcode Peduli Lindungi, pengukuran suhu badan, cuci tangan, memakai masker dan pengaturan menuju kelas. Antrean cuci tangan juga diatur agar tidak terjadi penumpukan.

"Namun, begitu memasuki kelas, maka ketentuan untuk jaga jarak satu meter sulit diterapkan," ungkap Retno.

Lalu, dia juga melihat, SOP kepulangan siswa telah disiapkan dengan baik untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan. Salah satunya dengan membuat kepulangan setiap kelas memiliki jeda waktunya untuk menghindari penumpukan. Tapi, lagi-lagi dalam praktiknya penumpukan masih terjadi karena para orangtua siswa terlambat menjemput anak-anaknya.

Baca juga : Omicron dan BOR di DKI Terus Naik

"Sekolah sudah berusaha maksimal, namun para orang tua yang terlambat menjemput menjadi kendala dalam menghindari penumpukan," ujar Retno.

Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth mengaku khawatir akan mewabahnya Covid-19 varian Omicron di sekolah apabila PTM masih menerapkan kapasitas 100 persen. Kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk membuka PTM 100 persen, dinilainya, malah bisa menjadi bumerang.

"Dengan adanya pandemi ini memang seharusnya bisa mendorong pembelajaran dilakukan secara daring karena memang tidak ada pilihan lain, apalagi ditambah dengan munculnya varian Omicron yang angka penularannya makin bertambah di Jakarta, terutama bagi sekolah yang menerapkan siswa didiknya 100 persen belajar tatap muka," kata Kenneth dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Kent (sapaan Hardiyanto Kenneth) meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuat kebijakan yang harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa maupun orang tua. Menurutnya, tidak sedikit dia mendapat laporan dari orang tua siswa yang khawatir kebijakan tatap muka di tengah merebaknya Omicron.

Terlebih, sambung Kent, baru ada 404.192 siswa atau 55,9 persen dari target 723.044 siswa yang telah menjalani vaksinasi anak usia 6-11 tahun per Selasa 11 Januari 2022. Cakupan vaksinasi itu sangat jauh untuk dijadikan patokan untuk bisa belajar tatap muka.

Baca juga : Satu Siswa SMPN 252 Positif Covid-19, Teman Sekelas-Guru Jalani PCR

Kent menyadari bahwa Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengeluarkan edaran yang menyebutkan bagi peserta didik yang belum dapat mengikuti PTM Terbatas di sekolah lantaran pertimbangan orang tua, dapat memberikan keterangan kepada pihak sekolah dan tetap akan memperoleh layanan pembelajaran secara daring, serta mendapat hak penilaian. Akan tetapi pada realitanya, dia menyebut ada beberapa orang tua murid yang sudah membuat surat keberatan ke pihak sekolah, tetapi tetap dianggap tidak masuk sekolah.

"Orang tua merasa takut jika harus berkoordinasi dengan pihak sekolah untuk melarang anaknya mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah, takut malah nanti anaknya terkena sentimen oleh pihak sekolah. Ini secara prinsip bersurat tidak ada gunanya ini realita di lapangan yang harus disikapi bijaksana," tutur Kent.

photo
Ibadah di sekolah sebaiknya tetap memperhatikan protokol kesehatan. - (Republika.co.id)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement