Rabu 12 Jan 2022 21:27 WIB

Kenaikan Cukai Dongkrak Harga Rokok, Tapi tak Tekan Prevalensi Perokok

Pecandu rokok akan selalu menyediakan uang agar bisa tetap merokok.

 Ahmad (kanan), 80 tahun, merokok di sebuah jalan di Jakarta, 31 Mei 2021. Ahmad telah merokok sejak berusia 19 tahun, yang berarti ia telah merokok setiap hari selama kurang lebih 61 tahun. Data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance tahun 2016, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi perokok terbesar di Asia Tenggara.
Foto:

Adapun, dari sisi ekonomi, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan CHT pada 2022 memang berpotensi menambah penerimaan negara. "Karena harga rokok semakin tinggi, jadi meski produksi rokok menurun, penerimaan negara secara nominal akan meningkat," kata dia.

Walaupun demikian, kenaikan penerimaan CHT pada 2022 diperkirakan lebih rendah bila dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022, pemerintah telah menargetkan CHT akan mencapai Rp 192 triliun atau naik 11,56 persen dibanding target 2021 yang sebesar Rp173 triliun.

Namun, sampai akhir tahun 2021 saja, penerimaan sudah mencapai Rp193 triliun. Menurutnya, meskipun tak hanya ditarik untuk menambah penerimaa negara, kenaikan itu juga dilakukan sebagai upaya melakukan kontrol terhadap konsumsi rokok yang berdampak buruk pada kesehatan.

"Dengan penurunan jumlah konsumsi, maka otomatis dampak ke produksi juga menurun. Saya kira ini tidak lepas dari cita-cita pemerintah untuk mengurangi angka prevalensi merokok terutama pada anak di bawah usia 18 tahun," ucap Tauhid.

Pada akhir Desember 2022, Ketua Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, kenaikan seluruh golongan rokok yang tak memberi kesempatan bagi sektor padat karya dapat pulih dan bertumbuh di tengah pandemi.

“Kenaikan cukai 2022 masih cukup tinggi, jauh di atas angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tentunya, ini akan berdampak pada industri padat karya. Perlu diingat, IHT adalah industri penyumbang 10 persen penerimaan pajak negara dan menyerap 6 juta tenaga kerja," kata Hananto, Selasa (14/12).

Adapun kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi terjadi pada kategori sigaret putih mesin (SPM), mulai dari 13,9 persen (golongan I) sebesar 14,4 persen (golongan II B). Bahkan kategori sigaret kretek tangan (SKT) pun tak luput dari kenaikan tarif cukai, dengan kenaikan tertinggi 4.5 persen.

Meski demikian, Hananto menghargai pertimbangan pemerintah terhadap perlindungan tenaga kerja melalui kenaikan cukai SKT yang jauh lebih rendah dari rokok mesin. Hal ini memberikan harapan bagi industri atas keberpihakan Pemerintah terhadap segmen padat karya.

Dia menekankan segmen SKT memang memerlukan perhatian dan perlindungan lebih karena selama ini sangat terdampak pandemi Covid-19, utamanya karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mempengaruhi biaya operasional pabrik dan kapasitas produksi.

“Ada extra cost yang harus dikeluarkan oleh pabrikan sebagai upaya untuk menerapkan protokol kesehatan. Di antaranya, penyediaan masker, hand sanitizer, dan lainnya. Belum lagi terkait kapasitas pelinting di pabrik yang harus dikurangi selama pandemi demi mengikuti protokol Kesehatan yang pastinya mempengaruhi kapasitas produksi SKT," ucapnya.

Pemberlakuan kebijakan per 1 Januari 2022 juga dinilai menyulitkan para pelaku IHT untuk melakukan serangkaian penyesuaian. Minimnya waktu penerapan ini, kata Hananto, diharapkan Bea Cukai juga siap untuk memenuhi permintaan pencetakan pita cukai.

"Implementasi kebijakan ini jangan sampai mengganggu proses produksi," tuturnya.

photo
Tarif cukai rokok - (Tim infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement