Rencana booster namun dipandang masih pro dan kontra, terutama karena ada booster yang sifatnya berbayar di Indonesia. “Skema vaksin berbayar hanya menguntungkan mereka yang memiliki kemampuan membeli vaksin, sedangkan masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan vaksin,” kata Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan, Ahad (9/1/2022).
Oleh karena itu, 29 organisasi yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan telah mengirimkan surat kepada Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. Surat itu untuk meminta WHO memberikan saran kepada Pemerintah Indonesia agar segera menunda rencana pemberian vaksin booster pada 12 Januari 2022 sebelum vaksinasi dosis primer diberikan kepada seluruh target sasaran vaksinasi.
Koalisi juga mendesak agar vaksinasi diberikan gratis kepada semua warga. Sebab, vaksin adalah barang publik yang tidak boleh diperjualbelikan di masa krisis. Vaksin yang ada saat ini didapat secara gratis dari kerja sama bilateral antarnegara dan kerja sama multilateral serta pembelian langsung yang menggunakan dana APBN. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak boleh memperjualbelikan vaksin Covid-19 di Indonesia.
"Bersamaan dengan surat kami kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah menunda pemberian vaksin booster hingga 70-80 persen dari populasi mendapatkan dosis 1 dan 2, terutama lansia dan kelompok rentan lainnya di seluruh wilayah secara proporsional sesuai tingkat infeksi di masyarakat," kata Agus menegaskan.
Sementara, survei menunjukkan sebanyak 54,8 persen responden tak setuju dengan rencana booster. Hanya 41,7 persen responden yang setuju menerima suntik vaksin booster.
"54,8 persen tidak setuju, 41,7 persen setuju. bahkan, dikasih booster pun masyarakat lebih banyak yang tidak setuju ketimbang setuju," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin, dalam rilis survei nasional terbarunya bertajuk 'Pemulihan Ekonomi Pasca-Covid, Pandemic Fatigue, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024', secara daring, Ahad (9/1/2022).
Selain itu, sebanyak 63,2 persen responden juga tidak setuju dengan rencana pemerintah memberikan vaksin untuk anak berusia 3-12 tahun. Hanya 34,2 responden yang menyatakan setuju.
"Ini isu yang menurut kami serius harus segera diatasi karena bagaimanapun masalah ini bisa menjadi masalah tersendiri di luar dari isu teknis terkait dengan ketersediaan vaksin dan vaksinator. Kalau masyarakat tidak setuju ya repot," tuturnya.
Burhanuddin juga menilai, banyaknya masyarakat yang menolak vaksin booster menjadi sebab isu-isu terkait lainnya. Ia mencontohkan misalnya persoalan vaksin yang tidak segera terdistribusi.
"Dan itu potensial kedaluwarsa karena makin lama makin sulit untuk dicari warga yang bersedia untuk divaksin. Sementara vaksinnya ada, tetapi kalau secara psikologis masyarakat menolak, itu juga jadi masalah," imbuhnya.
Survei dilakukan 6-11 Desember 2021 dengan menggunakan metode multistage random sampling. Adapun total sampel sebanyak 2020 responden dengan jumlah sampel basis sebanyak 1220 orang tersebar proporsional di 34 provinsi.
Dari sampel basis 1220 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dilakukan dengan wawancara tatap muka.