REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menilai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok telah melanggar undang-undang karena menerbitkan surat hak guna bangunan (SHGB) kepada PT Pakuan. Dia mengatakan, padahal dilokasi yang sama telah diterbitkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (SK-Kinag) kepada Ida Farida.
Hal itu disampaikan Fahri saat menjadi saksi ahli oleh penggugat Ida Farida di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat. Penggugat menggugat kantor pertanahan Kota Depok terkait dugaan mafia tanah atas tanah seluas 50 hektare di Sawangan Depok dengan nomor register perkara 101/G/2021/PTUN.BDG.
"Benar hari ini saya telah memberikan keterangan secara resmi dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dan majelis hakim telah memeriksa serta mengali keterangan yang telah saya sampaikan dibawah sumpah pada persidangan yang terbuka untuk umum pada hari ini, ujar Fahri Bachmid dalam keterangan Jumat (7/1).
Dia mengatakan, majelis hakim bisa merujuk pada norma Pasal 66 UU No.30/2014 jika ingin membatalkan beberapa SHGB yang diterbitkan BPN Depok tersebut. Menurutnya, Pasal 66 tersebut menjelaskan tentang pembatalan keputusan yang terdapat cacat, seperti, wewenang, prosedur dan subtansi.
Dia mengatkan jika terjadi pembatalan maka harus dibuat keputusan baru dengan mencantumkn dasar hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB. Lanjutnya, keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau atas putusan Pengadilan.
Fahri memandang ada persoalan serius dan permasalahan yuridis yang cukup mendasar dibalik penerbitan SHGB oleh BPN Kota Depok, sebab senyatanya dengan Penerbitan SHGB kepada PT. Pakuan tersebut telah menimbulkan merugikan pada pihak tertentu, dalam hal ini adalah penggugat.
Menurutnya, semestinya BPN Depok dapat mempedomani UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang mana dengan menerapkan prinsip kecermatan, kehatia-hatian, serta ketidakberpihakan sebagaimana ditegaskan dalam prinsip asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sepanjang pengunaan kebijakan penerbitan SHGB, yang tentunya mempunyai implikasi hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
"Dengan demikian SK Kinag adalah bentuk pengakuan hak atas tanah bagi penerima Re-Distribusi kebijakan landreform tanah oleh negara, sehingga eksistensi SK Kinag yang demikian tentunya merupakan produk hukum yang diterbitkan dengan pijakan yuridis diatasnya, yaitu Undang undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Tanah Partikelir. UU No.1/1985 tersebut menegaskan pengaturan kembali mengenai hak atas tanah partikelir yang dulunya bersumber dari hak eigendom berikut dengan hak pertuanannya," jelasnya.