REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, mengatakan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi termasuk kasus Asabri harus kerugian nyata dan pasti. Dia mengatakan, kerugian negara tidak boleh berasal dari potensial loss.
"Kalau argumentasinya (dissenting opinion Hakim Mulyono) seperti itu (perhitungan kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti), dari sisi aturannya itu benar. Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya," kata Nur dalam keterangan, Kamis (6/1).
Nur menjelaskan, frasa ‘dapat’ dalam kalimat ‘…dapat merugikan keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK sehingga kerugian negara dalam kasus korupsi haruslah kerugian keuangan negara yang riil, nyata dan pasti. Kerugian negara tersebut, kata Nur, tidak boleh potensial kerugian.
Dia menjelaskan, hal itu sama maknanya dalam Pasal 1 angka 22 dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Dia mengatakan, Hakim Mulyono memberikan dissenting opinion karena menilai penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tidak konsisten. Lanjutnya, BPK mendasarkan perhitungan pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur.
Namun, sambung dia, di lain pihak BPK tetap menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungannya kerugian keuangan negara. Menurutnya, BPK telah menggunakan dua parameter yang berbeda dalam penghitungan kerugian negara tersebut.
"Jadi, BPK mengatakan pembelian dana investasi tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi di dalam perhitungannya itu menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah," katanya.
Nur sendiri enggan masuk terlalu jauh ke dalam proses dan mekanisme penghitungan kerugian negara dalam kasus Asabri. Pasalnya, dirinya bukanlah akuntan dan tidak terlalu paham bagaimana melakukan penghitungan kerugian negara dalam kasus Asabri.
Lebih lanjut, Nur mengatakan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi harus nyata untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada terpidana. Pasalnya, terpidana-lah yang nantinya harus menanggung beban kerugian keuangan negara tersebut untuk dikembalikan dalam bentuk ganti rugi.
"Kerugian keuangan negara tidak boleh potensial loss, karena itu nantinya akan menjadi beban bagi terpidana untuk mengembalikan ganti kerugian kepada negara. Jadi, harus nyata dan pasti jangan sampai kerugian negara yang nyata hanya Rp 5 miliar, lalu jadi Rp 5 triliun, mampus terpidananya mengembalikan, padahal bukan sebesar itu yang dia nikmati," katanya.
Terkait dissenting opinion Hakim Mulyono, menurut Nur, tidak menjadi masalah karena itu menjadi catatan yang harus dilampirkan pada putusan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Menurut dia, dissenting opinion tersebut menjadi catatan untuk pengadilan tingkat atasnya baik pengadilan banding maupun pengadilan kasasi.
Dia mengatakan, dissenting opinion itu dilampirkan dalam putusan karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dia melanjutkan, pendapat hakim lainnya itu yang mengikat, tetapi paling tidak ada catatan bagi pengadilan yang ada di atasnya, pengadilan banding, kemudian pengadilan kasasi.
"Soal benar tidaknya pendapat Hakim Mulyono, saya tidak boleh memberikan komentar karena ini juga belum inkrah, tetapi kalau argumentasinya seperi itu, dari sisi aturannya itu benar," katanya.