REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemprov Jabar, mempersilahkan Apindo Jabar yang akan mengajukan gugatan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur No 561/Kep.874-Kesra/2022. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Jabar Rachmat Taufik Garsadi, Kepgub tersebut acuannya sudah jelas di PP 36/2021. Serta, adil untuk pengusaha dan buruh.
"Kepgub struktur skala upah, ya kalau menggugat itu kan hak setiap orang. Gak ada masalah itu, silahkan saja. 2019 juga pernah gitu PTUN," ujar Rachmat Taufik Garasadi yang akrab disapa Taufik kepada Republika.co.id, Rabu (5/1).
Taufik menjelaskan, struktur skala upah memang baru diatur pelaksanaanya di 2022 melalui Peraturan Pemerintah (PP). Kalau dulu, memang hanya Permenaker sehingga banyak sekali perusahaan yang tidak melaksanakan struktur skala upah ini.
"Kalau perusahaan-perusahaan yang sudah melaksanakan ini sebetulnya tak ada masalah. Malah banyak juga yang sudah melaksanakan lebih dari angka yang digunakan di Kepgub range 3,27 sampai 5 persen," katanya.
Namun, kata Taufik, yang mempermasalahkan justru pengusaha yang tak pernah menggunakan skala upah. Jadi, berapa pun kemampuan pengusaha itu tetap menggunakan UMK atau upah minimum pada pekerja yang sudah lebih dari satu tahun disamakan dengan pekerja yang baru masuk.
"Ini banyak yang dilakukan oleh pengusaha. Walaupun banyak juga yang sudah menerapkan struktur skala upah. Apalagi di 2022 ini acuannya sudah jelas di PP 36 bahwa skala upah itu wajib dilakukan oleh pengusaha dengan memperhitungkan lama kerja, produktivitas, dan kemampuan. Di Kepgub ditulis sesuai dengan kesepakatan ada di point 4," paparnya.
Taufik menilai, Kepgub tentang Struktur Skala Upah ini tak ada masalah dari sisi hukum. Pemprov Jabar menilai, sudah sesuai dengan aturan yang ada. "Itu kan hanya pedoman Pak gubernur memberikan pedoman agar pengusaha betul-betul bisa lebih menerapkan struktur skala upah dan lebih adil bagi pekerja yang produktivitasnya tinggi," katanya.
Agar, kata dia, jangan sampai pengusaha menyamakan gaji pekerja yang produktivitasnya baik dengan yang tidak. Sistem skala upah ini, bisa menjadi motivasi bagi pekerja agar bekerja lebih baik.
"Kalau dulu kan pinter atau nggak sama wae (sama saja,red) gajinya. Jadi tak meningkatkan motivasi pekerja," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, dengan Kepgub ini pihaknya mendorong peningkatan dan daya saing perusahaan. Kemudian sekarang lebih fair bagi semua. "Sekarang kan bisa dilihat kalau ekspor tinggi harusnya ada kontribusi buat buruhnya. Sebaliknya kalau malah terpuruk, adanya pandemi kan ada mekanisme lain," katanya.
Taufik menilai, denga Kepgub ini buruh juga akan lebih paham. Jadi, intinya Kepgub ini adil untuk semua. Karena yang diinginkan gubernur Jabar adalah semua terakomodir dan tak melanggar upah minimum yang ditetapkan Undang-undang.
"Kalau akan menggugat, Apindo dipersilahkan saja, kita negara hukum. Kalau mau saklek-saklekan mungkin banyak perusahaan yang tidak menerapkan UMK kita awasi juga. Tapi kan selama ini pemerintah juga melihat kondisi," katanya.
Terkait permintaan buruh yang mengajukan draft revisi Kepgub karena aspirasinya belum terakomodir semua, Taufik mengatakan, pemerintah harus memperhatikan semua pihak. Baik buruh, maupun pengusaha.
"Ya itu, jadikan sama pemerintah memperhatikan tak hanya memperhatikan buruh tapi juga memperhatikan pengusaha. Jadi Pak gubernur melihat dari berbagai sisi. Dan Kepgub itu, sudah ada dititik tengah mengakomodir semua," paparnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar mengajukan gugatan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur No 561/Kep.874-Kesra/2022. Menurut Ketua DPP Apindo Jabar, Ning Wahyu, pada tanggal 3 Januari 2022, Gubernur Jabar Ridwan Kamil telah menanda tangani Surat Keputusan Gubernur Nomor 561 / KEP. 874 - Kesra / 2022 tentang kenaikan Upah Bagi Pekerja atau Buruh dengan masa kerja lebih dari 1 ( satu ) tahun pada perusahaan di Jawa Barat. Apindo Jabar menilai, SK tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
"SK tersebut membuat gaduh dan resah kalangan pengusaha dan sangat mengganggu kondusivitas berusaha," ujar Ning kepada wartawan, Selasa (4/1).
Ning menilai, kewenangan Gubernur dalam penentuan upah seharusnya terbatas pada beberapa hal. Yakni, PP No 36 /2021 Pasal 27 ayat 1, Gubernur wajib menentukan Upah Minimum Provinsi setiap tahun.
"PP No 36 / 2021 Pasal 30 ayat 1, Gubernur dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten atau kota dengan syarat tertentu, dan seterusnya," katanya.
Sedangkan Struktur Skala Upah, kata dia, seharusnya mutlak merupakan kewenangan pengusaha, tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Hal tersebut, kata dia, diatur dalam PERMENAKER no 1 / 2017 Pasal 4 poin 4 : penentuan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (c) dilakukan oleh pengusaha berdasarkan kemampuan perusahaan dan harus memperhatikan upah minimum yang berlaku.
Selain itu, menurut Ning, pada PERMENAKER no 1 / 2017 Pasal 5: struktur dan skala upah ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dalam bentuk surat keputusan.
"Oleh karena itu, kami meminta Gubernur untuk mencabut SK tersebut, kalau tidak, para pengusaha akan melakukan gugatan ke PTUN," katanya.
Ning Wahyu juga menghimbau supaya pemerintah daerah turut membantu menciptakan kondusivitas usaha dengan tidak memunculkan kebijakan – kebijakan yang kontra produktif dan meresahkan dunia usaha.
Selanjutnya, untuk kondusivitas dunia usaha juga, Ning Wahyu pun meminta kepada para pengusaha di Jawa Barat untuk menyusun dan melaksanakan Struktur Skala Upah, dengan berpedoman pada PERMENAKER no 1 Th 2017 tentang penyusunan Struktur dan Skala Upah pasal 4 poin 4 dan pasal 5 jo PP 36 / 2021 pasal 21. Serta, memperhatikan SK Gubernur no 561 / Kep. 732 - Kesra / 2021 tentang Upah Minimum Kota / Kabupaten di Jabar tahun 2022.
"Kami minta pengusaha mengabaikan SK tanpa dasar hukum yang jelas serta cacat hukum tentang Struktur Skala Upah nomor 561 / Kep. 874 – Kesra / 2022 tertanggal 3 Januari 2022 itu," tegasnya.
Ning Wahyu mengatakan, pada para Buyer Brand yang membuat produk mereka di Jabar untuk paham keadaan dengan mendasarkan persyaratan Compliance mereka berdasarkan undang-undang yang berlaku. Jadi, bukan berdasarkan produk kebijakan yang cacat hukum.
"Buyer sering menyampaikan supaya perusahaan – perusahaan yang bekerja sama dengan mereka untuk melakukan hal yang benar, ( do the right thing ) atau melakukan sesuatu yang benar dari awal ( Do the right thing from first) , disini, saat ini, saat yang tepat untuk para buyer menerapkan slogan yang sering mereka sampaikan tersebut dalam menyikapi situasi di Jabar," paparnya.