REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengolah limbah jerami dan lumpur di Sidoarjo menjadi energi listrik. Qurratul Ain Farahiyah, salah satu anggota tim memaparkan, Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan pertanian padi sangat luas, sehingga limbah jerami padi yang dihasilkan pun sangat melimpah.
Sayangnya, limbah jerami tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, kata dia, limbah jerai sebenarnya mengandung selulosa cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan kembali. “Kandungan selulosa ini dapat diproses menjadi energi listrik ramah lingkungan menggantikan energi listrik berbahan bakar fosil,” ujarnya, Kamis (30/12).
Perempuan yang akrab disapa Fara ini menjelaskan, limbah jerami digunakan sebagai sumber karbon pada proses Microbial Fuel Cell (MFC). Yakni, metode yang digunakan untuk mengubah energi kimia menjadi energi listrik melalui metabolisme mikroba terhadap suatu media sebagai katalis.
"Metode ini mentransfer elektron dari anoda melalui copper wire, kemudian menghasilkan arus listrik menuju katoda,” ujar mahasiswa Departemen Teknik Kimia tersebut.
Fara pun memaparkan proses pengolahan jerami padi dan lumpur Sidoarjo hingga menjadi energi listrik. Didahului dengan pengekstrakan limbah jerami lalu diencerkan dan dipisahkan antara cairan dan limbah padatannya. Cairan yang mengandung selulosa ini kemudian diambil untuk dihidrolisis oleh sejenis fungi bernama Aspergillus Niger untuk menghasilkan glukosa.
“Sebanyak satu kilogram limbah jerami dapat menghasilkan 11.362 gram per liter glukosa,” ujarnya.
Glukosa kemudian dicampurkan dengan lumpur Sidoarjo untuk kemudian diumpankan sebagai makanan bakteri Shewanella Oneidensis MR-1 di dalam elektroda untuk menghasilkan elektron. Selanjutnya elektron ditransmisikan dari anoda ke katoda yang keduanya berbahan carbon cloth twill melalui bahan konduktor resistor.
“Lumpur Sidoarjo yang kerap dianggap sebagai masalah ini mengandung mikroorganisme yang berperan penting dalam proses transfer elektron dalam MFC,” kata dia.
Fara menambahkan, semakin banyak glukosa yang digunakan maka arus listrik yang ditimbulkan akan semakin besar. Hal ini terjadi karena metabolisme bakteri dalam larutan dengan lebih banyak glukosa akan lebih cepat dan pertumbuhan bakteri yang cepat membuat jumlah arus yang lebih besar.
“Daya sebesar 8.515,351 miliwatt dapat dihasilkan dari pemrosesan 11.362 gram glukosa,” ujarnya.
Fara bersama empat rekannya berharap inovasi ini dapat diteliti lebih lanjut dengan variabel percobaan yang lebih bervariasi. “Harapannya produk ini dapat diimplemantasikan sebagai produk nyata mengatasi permasalahan limbah dan elektrifikasi ramah lingkungan di Indonesia,” kata dia.