Selasa 21 Dec 2021 18:49 WIB

Riset: Tutup Keramba Apung tak Efektif Kurangi Polusi di Danau Toba

Ada 100 lebih sungai yang bermuara ke Danau Toba dan membawa berbagai limbah

Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba.
Foto: Dok. Gpmt
Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti LPPM IPB University mengungkapkan bahwa menutup kegiatan budidaya ikan nila melalui keramba jaring apung (KJA) tidak signifikan mengurangi cemaran limbah di kawasan Danau Toba. Ketua Tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University Prof Manuntun Parulian Hutagaol dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pataka bertajuk "Masyarakat, Ekonomi, dan Lingkungan Kawasan Danau Toba" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (21/12) mengatakan KJA bukan satu-satunya sumber cemaran yang mencemari Danau Toba.

"Studi kami ada sembilan klaster, pengamatan lebih detil sesungguhnya mana saja yang membawa cemaran ke Danau Toba," kata Parulian.

Baca Juga

Klaster yang menyebabkan cemaran ke Danau Toba yaitu sungai yang mengalir ke Danau Toba, Sungai Asahan, Pelabuhan, pencemaran dari bukit; ladang dan desa, peternakan, permukiman dan hotel, KJA rakyat, dan dua KJA yang dikelola oleh swasta. Hasil penelitian mengungkapkan KJA bukan sumber pencemaran tertinggi yang berdampak pada lingkungan hidup di Danau Toba. 

Parulian juga menyebut ada 100 lebih sungai yang bermuara ke Danau Toba dan membawa berbagai limbah dari ladang, peternakan, permukiman, hotel dan restoran. Selain itu, hasil penelitian mengungkapkan status tropik perairan Danau Toba memburuk dari Mesotrofik pada tahun 2017 menjadi Eutrofik pada 2021.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, status mutu air mesotrofik merupakan status air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Sedangkan eutrofik adalah air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi pertanaman, dan peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut. Sebelumnya pemerintah Provinsi Sumatra Utara menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, serta Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba.

SK yang pertama menyebutkan daya dukung Danau Toba untuk KJA menjadi 10 ribi ton ikan per tahun dengan tujuan mengurangi pencemaran di Danau Toba. SK yang kedua menargetkan agar status air di Danau Toba menjadi oligotrofik atau air yang peruntukkannya hanya untuk air minum. Parulian mengatakan sangat sulit mengubah status air Danau Toba dari eutrofik menjadi oligotrofik. Selain itu, peruntukan oligotrofik hanya untuk air minum dan tidak boleh ada kegiatan pariwisata di atasnya.

Menurut dia, SK Gubernur Sumatra Utara bertentangan dengan program prioritas pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata internasional. "Kalau mesotrofik pembudidayaan ikan air tawar boleh di atas danau, KJA boleh di atas danau berdampingan dengan pariwisata internasional. Tentu saja pencemaran harus dikendalikan, itu isu yang nanti kita akan bahas, bukan berarti pencemaran kita tolerir," katanya.

Parulian menyebutkan bahwa para pelaku usaha budidaya ikan nila di Danau Toba menerima apabila diberikan pendampingan. TentU saja agar bisa mengurangi pencemaran yang ditimbulkan pada kawasan Danau Toba.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement