Rabu 15 Dec 2021 18:59 WIB

Arti Kedatangan Blinken Seusai Indonesia Diam Digertak China di Natuna

Surat diplomatik China ungkap permintaan agar RI setop pengeboran migas di Natuna.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken melambai saat tiba di bandara internasional di Jakarta pada Senin, 13 Desember 2021.
Foto:

Dua pekan setelah surat diplomatik China, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Anthony Blinken tiba di Jakarta pada Senin (13/12), pukul 13.40 WIB. Bagi sebagian pengamat hubungan internasional, kedatangan Blinken ini masih memiliki kaitan dengan situasi di Luat China Selatan.

Blinken berjanji memperkuat kerja sama dengan kawasan Indo-Pasifik dan sekitarnya. Ia mengatakan, AS sudah memperdalam perjanjian persekutuan dengan Jepang, Korea Selatan (Korsel), Filipina, dan Thailand.

"Ikatan yang sudah lama menjadi landasan untuk perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan," kata Blinken di Balai Sidang Universitas Indonesia, Selasa (14/12).

"Kami juga akan memperkuat kerja sama dengan sekutu-sekutu tersebut, di antaranya yang telah kami lakukan adalah memperdalam kerja sama trilateral AS-Jepang-Korea Selatan, dan meluncurkan kesepakatan kerja sama keamanan dengan Australia dan Inggris," ujar Blinken.

Adapun, menurut keterangan resmi Kedutaan Besar AS di Jakarta, AS selalu memiliki keterlibatan mendalam di Indo-Pasifik. Sehingga, pihaknya dan mitra-mitra AS meyakini bahwa cara terbaik untuk menghindari konflik adalah dengan menegaskan kembali nilai-nilai bersama.

"Kami mendukung upaya kuat Indonesia untuk melindungi hak-hak maritimnya dan mempertahankan diri dalam menghadapi agresi Republik Rakyat China (RRC) di Laut China Selatan, termasuk di zona ekonomi eksklusifnya di sekitar Kepulauan Natuna," kata AS.

Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah menilai, kunjungan Blinken menunjukkan pentingnya posisi Indonesia. Tanpa diminta, AS secara tersirat menyatakan dukungannya terhadap kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan.

"Tapi, kembali ke Indonesia jangan menimbulkan (kesan) kepada China, Indonesia memanfaatkan kedatangan (Blinken) untuk menjawab tantangan China secara militer," kata Teuku, Selasa.

Senada dengan Teuku, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo menyarankan Pemerintah Indonesia tidak perlu menanggapi gertakan China di Laut China Selatan.

"Protes China ini tidak mengejutkan karena China memang sejak awal mengeklaim perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen melalui nine-dash line atau sembilan garis putus-putus," ujar Eddy seusai media gathering yang digelar Kemenlu (Kemenlu) RI di Jakarta, Senin (6/12).

"Menurut observasi saya, reaksi Pemerintah RI terhadap klaim ini sudah tepat dan konsisten yang sejak awal sudah menolak keabsahan nine-dash line, dan arbitrase tribunal UNCLOS tentang LCS 2016 juga telah mengonfirmasi bahwa klaim sepihak China ini bertentangan dengan hukum internasional," ujarnya menambahkan.

Pada hari ini, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan posisi Indonesia sebagai negara penyeimbang yang kuat antara dua kekuatan utama dunia, yakni China dan AS.

"Indonesia negara besar, negara yang kaya, negara yang tidak perlu berpihak pada satu kekuatan pun. Message (pesan) ini saya sampaikan ke teman saya di Tiongkok maupun di Amerika," kata Luhut dalam sebuah webinar, Rabu (15/12).

Pesan itu pun disampaikannya soal klaim di perairan Laut China Selatan. Menurut mantan menko polhukam itu, Indonesia tidak pernah punya masalah soal klaim tersebut.

"Ini ada Natuna, ada South China Sea, itu kami nggak ada masalah. Tidak ada persoalan di situ. Sepanjang menyangkut teritorial, integrity Indonesia, kita tidak pernah diskusi pada siapapun. Jadi firm (tegas) posisi kita," katanya menegaskan.

photo
Jejak Presiden China Xi Jinping - (BBC)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement