Fakta sejarah ini bersumber dari kofirmasi kepada mantan menteri keuangan Fuad Bawazier ketika ditanya soal eksplorasi di kawasan Natuna pada masa Orde Baru. Dia menyatakan, sudah sangat lama Presiden Soeharto tahu bahwa China terus mengincar wilayah itu. "Mereka (China) tidak hirau atas resolusi PBB bahwa wilayah itu bukan teriorialnya. Makanya Pak Harto waktu serahkan ekplorasi wilayah itu ke Amerika. Bahkan terasa istimewa. Sebab, perjanjiannya saja sedikit menyimpang dari perjanjian yang biasanya dibikin Indonesia mengenai bagi hasi eksploarsi pertambangan. Pak Harto tetap tanda tangani perjanjian itu meski Indonesia porsi bagi hasilnya kecilan dibandingkan dengan eksplorasi sejenis di wilayah Indonesia lain."
Namun, Fuad melanjutkan, pemerintah kala itu ingin mendapat dua keuntungan. Pertama, karena memang wilayah itu jauh terpencil sehingga secara teknis pengambilnya hasil ekspolrasi (dalam hal ini gas) gasnya sulit dan mahal. Eksplorasi pada saat itu harus memakai teknologi tinggi yang belum dikuasai Indonesia. Kedua, bagi pemerintah perjanjian itu sangat penting. Ini karena dibuat dengan di Jakarta. Artinya, Pemerintah Amerika Serikat mengakui wilayah itu merupakan kedaulatan Indonesia. Pak Harto tahu persis apa pentingnya perjanjian denan AS itu.''
''Namun, masa perjanjian itu yang ditandangi sekitar akhir 1970-an dan awal 1980-an beberapa tahun kemudian habis. Namun, konsesi eksplorasi gas di sana itu diperjualbelikan. Dan sampai sekarang gas dari Natuna sebagai akibat perjanjian itu disalurkan ke ke Singapura melalui pipa laut," kata Fuad Bawazier.
Baca juga : KPAI Nilai Herry Wirawan Memenuhi Syarat untuk Dihukum Kebiri
Pada sisi lain, publik Indonesia secara jelas selama ini sudah merasa terhina atas klaim dan 'usiran' China yang melarang Indonesia melakukan eksplorasi di wilayah Natuna itu. Publik juga tahu bahwa kapal penjaga pantai (coast guard) China berulang kali dengan seenaknya masuk ke wilayah RI di Natuna. Pada 12 Desember 2020 misalnya China nyata-nyata melakukan tindak tidak terpuji itu. Menurut laporan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), kapal dengan nomor lambung 5204 itu terus berada di kawasan selama akhir pekan dan menolak untuk pergi meski sudah diperingatkan.
Alasannya adalah karena mereka sedang berpatroli di area nine dash line (sembilan garis putus-putus). "Meskipun sudah ditanyakan maksud keberadaannya, kapal China enggan pergi dan berkeras di area tersebut," kata salah satu pihak di Bakamla saat itu.