Kamis 09 Dec 2021 19:02 WIB

Nekat! Tanah Negara di Kawasan Elite Disikat Mafia

Tanah itu di jual kepada perorangan Ferra Djunita, dengan harga Rp 46 miliar.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Petugas menujukkan barang bukti dokumen kasus mafia tanah yang menggunakan surat palsu. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Petugas menujukkan barang bukti dokumen kasus mafia tanah yang menggunakan surat palsu. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejahatan mafia tanah kian merajarela. Tidak hanya aset milik masyarakat sipil, tapi tanah milik negara pun menjadi korbannya. Salah satunya, tanah seluas 871 M2 di kawasan elit, di Jalan Selong, Jakarta Selatan yang dihibahkan dari Kementerian Pertanian (Kementan) untuk Yayasan Dharma Bakti Indonesia (YDBI) lenyap, disikat mafia tanah.

"Maka, penjualan itu adalah mereka melanggar dari pada peruntukan yang diberikan Kementerian Pertanian. Ini masuk pencucian uang. Karena, ini penjualan tidak ada izin dari kementerian yang mengibahkan tanah dan bangunan tersebut," ujar pengacara Eva L Rahman, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (9/12).

Eva menjelaskan, kronologi tindak kejahatan mafia tanah tersebut bermula Kantor Pertanahan Administrasi Jakarta Selatan yang melakukan pergantian nama dari Yayasan Dharma Bakti Indonesia (YDBI) menjadi Perkumpulan Pergerakan Wanita Nasional Indonesia (PERWANAS). Hal itu berdasarkan surat kuasa No. 159/SK/DPP-PERW/VIII/2015, tanggal 4 Agustus 2015.

"Dari SHW, selaku ketua umum DPP Perwanas kepada Ne Angg adalah mantan Pejabat Kantor Pertanahan Administrasi Jakarta Selatan," kata Eva.

Padahal kata dia, di dalam surat Keputusan Menteri Pertanian, tanah itu hanya di gunakan untuk bangunan sekolahan, tidak untuk yang lain. Maka, jika ada untuk mengadakan perubahan bangunan, harus persetujuan dari DPUT suku Dinas Jakarta. Itu sesuai dengan yang di sebut dalam surat keputusan Menteri Pertanian.

Dikatakan Eva, mantan ketua umum Yayasan Dharma Bakti Indonesia, Rosya Muhammad dan Suprapti menjual aset tersebut tanpa sepengetahuan pembina, pengurus, dan pengawas yayasan. Disebutnya, penjualan tanah itu melalui tipu muslihat dengan cara membalik nama dari yayasan ke nama Perwanas. 

Menurut Eva, dengan dibantu oleh oknum BPN dan eks pejabat BPN eselon dua proses balik nama tersebut bisa dengan mulus. Kemudian, tanah itu di jual kepada perorangan yang bernama Ferra Djunita, dengan harga Rp 46 miliar. 

"Bahwa, tanah dan bangunan aset YDBI tersebut telah di jual oleh Rosya Muhammad, kepada pihak ketiga atau pihak lain dengan harga Rp 46 miliar. Bukti akta jual beli no. 188/2018, dibuat dihadapan notaris Lies Herminingsih" ungkap Eva.

Perkara mafia tanah ini awalnya dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/0623/XI/2020/BARESKRIM tanggal 2 November 2020. Dalam laporan itu, ada dua terlapor yaitu Suprapti Hasanudin dan Rosya Muhammad. Kemudian penanganan kasus ini dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, Polri menegaskan pemberantasan mafia tanah oleh kepolisian melalui Satgas Anti Mafia Tanah masih terus berjalan. Polisi akan menindak secara hukum pelaku-pelaku mafia tanah tersebut. Bahkan pimpinan Polri telah menginstruksikan kepada para kapolda, kapolres di wilayah untuk tidak ragu dalam mengusut tuntas kasus mafia tanah.

"(Satgas Mafia Tanah) dalam bekerja Satgas Anti Mafia Tanah berkerja sama dengan Kementerian ATR atau BPN dan di daerah polda-polda pun demikian akan bekerja sama dengan kantor BPN di daerah," tegas Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement