REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut peningkatan anggaran transfer ke daerah belum dioptimalkan secara baik oleh pemerintah daerah. Hal ini yang melatarbelakangi diusulkannya undang-undang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU HKPD) ke legislatif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelaksanaan desentralisasi fiskal selama dua dekade masih belum optimal. "Peningkatan transfer ke daerah dari 2013 sebesar Rp 528 triliun menjadi Rp 95 triliun pada 2021 tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal," ujarnya saat Rapat Paripurna DPR Ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (7/12).
Sri mengatakan selama ini penyerapan anggaran di daerah lebih banyak dihabiskan bagi belanja pegawai. Setidaknya sebesar 64,8 persen digunakan belanja pegawai dan penggunaan dana alokasi khusus (DAK) yang ditujukan belanja modal, nyatanya masih minim digunakan.
Hasil evaluasi yang dilakukan Sri Mulyani menunjukkan kemampuan daerah dalam mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam tiga tahun terakhir sebesar 24,7 persen. Kemudian belanja daerah juga masih belum fokus dan efisien. Tercermin dari adanya 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan.
"Pola eksekusinya yang masih business as usual, selalu bertumpu pada triwulan keempat dan mendorong cash balance di daerah," ucapnya.
Menurutnya pemanfaatan anggaran yang masih terbatas mengakibatkan pembangunan daerah juga masih terbatas. Apalagi sinergi pembangunan di daerah seringkali tidak sejalan dan tidak berjalan maksimal.
Maka dari itu, Sri Mulyani menilai hubungan keuangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diperkuat dengan memiliki payung hukum, sehingga bisa menjaga kesinambungan dari hasil kebijakan APBN dan APBD. Sebab selama ini terjadi capaian output dan outcome yang tidak merata.
“Akibatnya terjadi ketimpangan antar daerah yang sangat tinggi,” ucapnya.
Dari sisi IPM (Indeks Pembangunan Manusia) ada yang rentangnya tertinggi 86,6 di Yogyakarta dan ada IPM yang terendah di Kabupaten Nduga yang hanya 31,5. Maka itu, lanjut Sri Mulyani, untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan kebijakan baru yang berorientasi pada kinerja dan kapasitas daerah dalam peningkatan pelayanan publik.
“Caranya dengan kolaborasi dan mendukung pembangunan nasional yang berorientasi kepada kesejahteraan dan pelayanan masyarakat, sehingga usulan UU HKPD dibuat tidak hanya kepentingan kebijakan fiskal, melainkan bagian dari reformasi kebijakan secara menyeluruh,” ucapnya.
Selain itu, kebijakan yang baru disahkan DPR ini perlu dipahami sebagai upaya bersama dalam meningkatkan desentralisasi fiskal. "Ini semata untuk mewujudkan pelayanan publik dan kesejahteraan yang lebih baik, bukan resentralisasi," kata dia.