Senin 06 Dec 2021 19:07 WIB

Erupsi Gunung Semeru, Mungkinkah Misprediction?

Sebelum erupsi, kenaikan aktivitas kegempaan Semeru sempat 100 kali sehari.

Suasana Jalur guguran awan panas letusan Gunung Semeru di kawasan Curah Besuk Kobokan, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Senin (6/12/2021). Gunung Semeru kembali mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur sejauh 2,5 kilometer yang mengarah ke Curah Besuk Kobokan.
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Suasana Jalur guguran awan panas letusan Gunung Semeru di kawasan Curah Besuk Kobokan, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Senin (6/12/2021). Gunung Semeru kembali mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur sejauh 2,5 kilometer yang mengarah ke Curah Besuk Kobokan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Dian Fath Risalah, Antara

Erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur, Sabtu (4/12), sejauh ini sudah menyebabkan 15 orang meninggal dunia. Pakar Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi menyebutkan penghitungan volume kubah lava Gunung Semeru sebenarnya memungkinkan digunakan untuk memprediksi jarak luncur awan panas gunung itu saat meletus pada Sabtu lalu.

Baca Juga

"Seharusnya memang (kubah lava) bisa dihitung volumenya apalagi sudah ada teknologi image sehingga bisa diperkirakan jarak luncurannya. Ini yang kita bertanya-tanya kenapa bisa 'misprediction'," kata dia, saat jumpa pers di Auditorium Fakultas MIPA UGM di Yogyakarta, Senin (6/12).

Selain data volume kubah lava, informasi mengenai jumlah material di puncak Gunung Semeru juga belum tersedia. Sejak 2012 status Gunung Semeru telah dinyatakan level II atau waspada. Kemudian, September 2020 mulai teramati aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu-abu 200-700 meter di puncak Semeru.

Aktivitas serupa berlanjut Oktober setinggi 200-1000 meter, dan 1 Desember terjadi awan panas 2-11 kilometer ke arah Kobokan di lereng tenggara. Pada 90 hari terakhir, ada peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa erupsi.

"Ada yang mencapai 100 kali per hari, ini sudah bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi yang lebih besar," kata Wahyudi.

Menurut Wahyudi, guguran kubah lava yang dipicu tingginya curah hujan sebabkan luncuran awan panas yang jarak luncurnya capai 11 kilometer. Secara saintifik, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan dari endapan lava.

Dalam beberapa kasus, lanjut Wahyudi, faktor eksternal seperti curah hujan yang tinggi memang bisa menyebabkan thermal stres dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava. Kubah lava sudah tidak stabil, dipicu curah hujan tinggi. "Ini yang menyebabkan adanya longsor," ujar Wahyudi.

Dosen Fakultas Geografi UGM, Dr Danang Sri Hadmoko mengatakan, setelah erupsi potensi ancaman bencana masih ada. Sebab, pada Desember, Januari dan Februari masih perlu memperhatikan potensi aliran lahar dan juga erupsi susulan.

Ia mengingatkan, fenomena La Nina memunculkan potensi hujan tinggi, sehingga masyarakat yang ada di area sungai berhulu Gunung Semeru perlu waspada. Warga juga harus menghindari aktivitas dalam radius bahaya yang sudah ditetapkan.

"Beberapa sungai yang berhulu di Semeru itu perlu diwaspadai supaya ketika terjadi aliran lahar di bagian tengah dan hilir yang banyak pemukiman bisa terselamatkan," kata Danang.

Ada pula potensi material yang masih panas, sehingga proses evakuasi perlu dilakukan hati-hati, melibatkan pihak-pihak yang pahami kondisi gunung api. Warga sekitar area erupsi dianjurkan memakai masker dan kacamata pelindung. "Untuk menghindari bahaya kesehatan akibat abu vulkanik yang mempunyai kandungan silika dan berukuran mikro," ujar Danang.

Sebelumnya, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani menyatakan berdasarkan pengamatan visual dan alat-alat seismometer, awan panas guguran pada Sabtu (4/12) memiliki jarak luncur mencapai 11 km dari puncak Semeru. Sementara rekomendasi batas aman kepada masyarakat di lereng Gunung Semeru masih ditetapkan dalam Status Level II (Waspada) yakni pada radius satu kilometer dari kawah/puncak Gunung Semeru dan jarak lima kilometer dari arah bukaan kawah di sektor selatan-tenggara.

"Informasi 11 kilometer itu memang dari PVMBG. Jadi jarak dari puncak sampai ke titik terjauh," kata dia.

Baca juga : Gunung Semeru Kembali Muntahkan Awan Panas

Selain itu, kata dia, informasi mengenai data kegempaan di Gunung Semeru yang meningkat selama 90 hari terakhir juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi gejala awal atau prekursor letusan. "Sejak 90 hari terakhir itu ada peningkatan kegempaan. Jadi rata-rata di atas 50 kali per hari dalam 90 hari terakhir, bahkan ada yang sampai mencapai 100 kali per hari. Ini sebenarnya sudah tanda-tanda, bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi," ujar dia.

Aktivitas vulkanik gunung api tapi tidak sama dengan gempa bumi yang prekursornya tidak bisa diketahui. Meski demikian, seperti perkiraan Kementerian ESDM, ia menyebutkan luncuran awan panas guguran di Gunung Semeru cenderung dipicu oleh faktor eksternal yakni tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi di sekitar Semeru mengakibatkan ketidakstabilan kubah lava akibatnya menyebabkan longsoran awan panas. "Sehingga jarak luncurannya jauh ya kebetulan memang prediksinya hanya lima kilometer," ucap dia.

Seismolog UGM Ade Anggraini menyebutkan berdasarkan data seismik PVMBG, grafik gempa letusan atau gempa erupsi selama 90 hari terakhir menunjukkan peningkatan. Data tersebut mengindikasikan bahwa material sudah naik ke permukaan Semeru.

"Material di permukaan itu sudah kelihatan di 90 hari terakhir sebelum 4 Desember kemarin. Jadi kalau kita lihat analisis lebih detail, sudah ada penumpukan material di permukaan cukup banyak," kata dia.

Meski demikian, lanjut Ade, data PVMBG yang menyebut tidak ada gempa vulkanik dalam (VTA) dan gempa vulkanik dangkal (VTB) di gunung itu sebelum terjadi letusan menunjukkan tidak adanya kecenderungan suplai material baru dari bawah. "Jadi benar-benar (sudah ada) penumpukan material di permukaan lalu terjadi awan panas, maka analisisnya mengarah pada awan panas disebabkan oleh runtuhnya kubah lava," kata dia.

Menurut dia, setiap gunung memiliki karakteristik yang tidak sama. Ia berpendapat letusan yang terjadi pada Sabtu (4/12) berkaitan dengan karakteristik erupsi Semeru yang berbeda dengan gunung api aktif lainnya. "Ketidakpastian di dalam faktor yang kemudian membuat menjadi lebih panjang itu memang kadang di luar kuasa kita, karena kita hanya berbicara dengan data analisis yang kita punya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement