Kamis 02 Dec 2021 05:41 WIB

Program PEN untuk Insan Film Diminta Dihentikan

hasil kuratorial yang kami nilai tidak memenuhi asas keadilan

Gusti Randa dan Sonny Pudjisasono dari Tim Pencari Fakta Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Subsektor Film
Foto: istimewa
Gusti Randa dan Sonny Pudjisasono dari Tim Pencari Fakta Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Subsektor Film

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Subsektor Film diminta untuk dihentikan. Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman (KPMP) menemukan adanya prinsip ketidakadilan dan tidak transparannya dalam proses pendistribusian dana buat menghidupkan industri perfilman nasional yang dilakukan melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI.

"Karena ada kegaduhan, atau noise di masyarakat perfilman, akibat hasil kuratorial yang kami nilai tidak memenuhi asas keadilan," kata Sonny Pudjisasono, ketua KPMP PEN Subsektor Film, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/12).

Sony mengatakan pihaknya telah melayangkan surat resmi kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno terkait persoalan ini. "Karena adanya kegaduhan atau noise di masyarakat perfilman sebagai akibat dari hasil kuratorial yang kami nilai tidak memenuhi asas keadilan," ujarnya.

Selain melayangkan surat, lima orang dari perwakilan KPMP, yaitu Gusti Randa, Sonny Pudjisasono, Akhlis Suryapati, Adisurya Abdi, dan Rully Sofyan telah menemui Inspektorat Utama Kemenparekraf RI Restog Krisna Kusuma pada Jumat (26/11) lalu, di Balairung, Gedung Sapta Pesona, Jakarta.

Dari pertemuan itu, Inspektorat Utama Kemenparekraf RI menyatakan tidak ada yang salah dengan sistem kuratorial program PEN Subsektor Film. Meski KPMP memiliki sejumlah data, plus temuan cacat kurasi, bahkan indikasi suap. Sehingga membuat KPMP mengajukan tuntutan agar program bantuan film melalui PEN Subsektor Film dibatalkan.

"Dalam pertemuan itu KPMP juga dipertemukan dengan sejumlah pejabat terkait serta perwakilan Kurator yang sekaligus mewakili Kemendikbud Ristek,  juga Kurator yang sekaligus mewakili Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf)," kata Akhlis Suryapati, salah satu anggota TPF PEN Subsektor Film.

Akhlis juga menegaskan apa yang dilakukan oleh TPF ini tidak dilakukan atas dasar prinsip sakit hati. “Diksi sakit hati karena tidak kebagian dana itu fitnah. Mau sakit hati atau tidak, apa yang kita lakukan ini adalah menggugat keadilan. Ini bukan bersifat personal tapi rasa keseluruhan dari hasil kuraotiral. Kita juga memiliki dukungan fakta dan data,” ujarnya.

Gusti Randa juga menambahkan saat ini TPF sudah mengirimkan surat resmi kepada Komisi III (Komisi Hukum), dan XI (Komisi Anggaran DPR RI).  Ia juga mengatakan dalam waktu dekat akan dipanggil resmi DPR, sebelum tanggal 15 Desember 2021 yang akan menjadi masa reses.

"Di atas semua, kerja kita berbasis data yang valid. Agar tidak ambigu, dan tidak jadi fitnah. Sebagaimana prinsip PEN, yang berkeadilan, tidak menimbulkan moral hazard, transparan dan akuntabel," kata Gusti Randa.

Sementara itu Adisurya Abdi mengungkap TPF telah menemukan data bahwa dari 22 film yang mendapatkan biaya promosi, empat diantaranya sudah diputar di OTT, kemudian diedit ulang untuk mendapat bantuan. Adi juga mempertanyakan mekanisme pertanggungjawaban atas skema praproduksi, jika ada PH yang mendapat bantuan tapi kemudian dana tersebut tidak jadi untuk memproduksi

“Pada dasarnya kami tidak mempermasalahkan siapa yang dapat bantuan, tapi harus ada kajian yang serius atas persoalan ini. Ini kan informasi publik, tidak boleh ada yang disembunyikan," kata Adi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement