REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, memperkirakan gelombang ketiga kasus Covid-19 di Indonesia seusai libur Natal dan tahun baru (Nataru) 2022 bisa terjadi. Menurut Dicky, kemungkinan terjadinya gekombang ketiga Covid-19 karena kombinasi tiga faktor.
Menurut Dicky, gelombang ketiga Covid-19 bisa terjadi meski tingkat keseriusannya di bawah gelombang kedua. "Namun, kita harus terus waspada dan terus amati karena kemungkinan bisa terjadi di kuartal 2022 yang dipengaruhi oleh kombinasi tiga faktor," ujarnya Dicky Budiman saat dihubungi Republika, Ahad (21/11).
Faktor pertama, dia melanjutkan, masih signifikannya populasi di Indonesia yang belum memiliki imunitas tubuh, baik karena belum divaksinasi atau belum terinfeksi virus. Kemudian faktor kedua akibat adanya kelompok masyarakat yang meski sudah divaksinasi mengalami penurunan kadar imunitasnya setelah enam bulan disuntik. Ia meminta yang harus dicermati adalah penurunan kekebalan terjadi pada kelompok yang rawan, yaitu lanjut usia maupun yang punya penyakit penyerta (komorbid) karena kelompok ini yang lebih awal mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Faktor ketiga adalah abai dalam upaya tes, telusur, tindak lanjut (3T) dan protokol kesehatan 5M. Selain itu, ia menyoroti pelonggaran yang terlalu cepat dan tidak terkendali. Padahal, ia mengingatkan varian delta masih jadi ancaman.
"Selain itu, kita harus waspadai varian baru Covid-19 yang lainnya," ujarnya.
Oleh karena itu, Dicky meminta meminta agar protokol kesehatan (prokes) tetap harus dilaksanakan. Menurut dia, peran ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, melainkan juga semua unsur dan komponen. "Petugas keamanan dan aparat juga dibutuhkan untuk memastikannya. Ini termasuk dalam pengetatan dan pembatasan perayaaan Natal dan tahun baru (Nataru)."
Menurutnya, aparat hukum harus memantau dan ini dilakukan di banyak negara.
"Yang juga tak kalah penting adalah literasi (mengenai prokes)," katanya.
Dicky menyebutkan beberapa tip dan edukasi melaksanakan prokes menjelang libur Nataru. Pertama, usahakan orang yang beraktivitas di luar rumah pada saat Nataru saat bertemu dengan banyak orang atau keluarga sudah divaksin penuh. Bahkan, kalau ada pertemuan keluarga keluarga besar ada acara keluarga yang datang dari antarprovinsi maka lakukan rapid test antigen.
Selain itu, ia menegaskan memakai masker menjadi satu syarat yang diwajibkan. Kemudian ia meminta lakukan aktivitas lebih banyak outdoor. Kalaupun aktivitas dilakukan di dalam ruangan, dia meminta, perbaiki ventilasi, buka jendela, sirkulasi, dan sediakan pembersih udara hepa filter. Kemudian batasi kapasitas dalam grup kecil kurang dari 10 orang.
"Kemudian kalau acara diadakan di hotel atau restoran yang mengadakan makan-makan, usahakan jangan ada musik kencang. Karena itu membuat orang berbicara kencang. Itu meningkatkan risiko (penukaran Covid-19), yaitu droplet orang berbicara," katanya.
Terakhir, ia meminta harus ada pemonitoran berkala dari aparat. Sebab, ia mencontohkan di negara-negara maju yang sangat taat prokes saja ada pemonitoran ketat dan aparat hukumnya berbuat tegas.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru Reisa Broto Asmoro menjelaskan cara untuk mencegah gelombang ketiga Covid-19. Ini berdasarkan pengalaman kenaikan kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Padahal cakupan vaksinasi Covid-19 di Amerika Serikat dan Eropa sudah tinggi.
Reisa mengutip pemaparan dari dr Maria Van Kerkhove dari WHO disebutkan bahwa pola penyebaran Covid-19 yang terdapat di seluruh Eropa dan dunia sepenuhnya dapat diprediksi.
"Karena ketika kita menghilangkan langkah-langkah pencegahan dan tidak lagi mengikuti panduan PPKM atau panduan kesehatan masyarakat dan aktivitas sosial WHO, ketika kita lengah seputar penggunaan masker dan jaga jarak, dan tidak lagi memperhatikan ventilasi, tidak lagi menghindari keramaian, sementara varian baru virus masih ada," ujar Reisa saat konferensi pers, yang dikutip pada Sabtu (20/11).
Reisa mengatakan, selama masyarakat masih meningkatkan mobilitas sosial, sementara cakupan vaksinasi belum 100 persen, virus akan berkembang. Hal inilah yang terjadi di Amerika dan Eropa.