REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah memberi pelajaran berharga (ibrah, i'tibar) tentang pentingnya manusia menjaga atau memelihara kehidupan. Ini karena, pandemi adalah masalah bersama yang niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama (al-qiyam al-fadilah).
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, pada pidato Milad Muhammadiyah ke-109 yang mengusung tema "Optimis Hadapi Covid-19: Menebar Nilai Utama." Dalam pidatonya, dia menjelaskan, tentang pelajaran berharga dari pandemi dan nilai berharga yang perlu dikembangkan.
Haedar mengatakan, pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga (ibrah, i'tibar) tentang pentingnya manusia menjaga atau memelihara kehidupan. Kehidupan yang menyangkut jiwa-raga (hifz al-nafs), akal (hifz al-'aql), harta (hifz al-mal), dan keturunan (hifz al-nasl) dengan segala relasinya harus dijaga penuh pertanggungjawaban dalam satu kesatuan di bawah pondasi hidup beragama (hifz al-din). Sebagaimana menjadi tujuan syariat Islam (maqasidu al-syari'ah).
"Tujuan khusus syariat tersebut menurut Imam Al-Ghazali terhubung dengan tercapainya kemaslahatan umum (al-maslahat al-'amat)," kata Haedar, Kamis (18/11).
Haedar mengutip Surah Al-Maidah Ayat 32. Allah dengan tegas berfirman, "Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia." (QS Al-Maidah: 32).
Dia menerangkan, kehidupan manusia merupakan sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan seksama.
"Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan hablun min Allah yang terhubung langsung dengan hablun min al-nas, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang hakiki dan melintasi," ujarnya.
"Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai (disposable) sebagaimana cara pandang verbal dan instrumental," imbuh dia.
Haedar menegaskan, manusia bukanlah benda mati meski berjasad raga. Kendati revolusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-21 telah memasuki fase baru yang melahirkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan rekayasa genetik (genetic engineering). Sebagaimana pandangan liberal-sekular Yuval Noah Harari yang angkuh bahwa umur manusia dapat diperpanjang sampai 500 tahun serta menganggap kematian sebagai persoalan teknis dan bukan metafisik.
"Namun manusia bukanlah benda material. Islam memandang manusia sebagai makhluk terbaik (fi ahsan al-taqwim) yang terdiri dari jiwa dan raga, di dalam dirinya terdapat hati dan akal yang dianugerahkan Tuhan," ucapnya.
Dia menjelaskan, manusia bahkan memiliki fitrah beragama (QS Al-Rum: 30 dan QS Al-'Araf: 172). Kecerdasan buatan dan rekayasa genetik sendiri merupakan hasil kerja otak manusia yang diberikan Tuhan, bukan barang jadi yang dipungut di jalanan.