REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras formula penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022, yang menghasilkan kenaikan UMP sebesar 1,09 persen. Bagi KSPI, kebijakan upah murah ini jauh lebih buruk dibanding yang terjadi pada rezim Orde Baru-nya Soeharto.
"Menteri Tenaga Kerja mengembalikan rezim upah murah jauh lebih buruk daripada zaman Soeharto," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Selasa (16/11).
Oleh karenanya, kata Said, KSPI menolak formula yang digunakan pemerintah dalam menetapkan UMP 2022. Terdapat empat alasan mengapa KSPI menolak kebijakan tersebut.
Untuk diketahui, penetapan UMP 2022 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Alasan pertama, kebijakan penetapan UMP 2022 melanggar konstitusi. Sebab, dalam UU Cipta Kerja hanya disebutkan bahwa kenaikan UMP mengacu pada angka inflasi, atau pertumbuhan ekonomi. Tapi, dalam PP 36 ditambahkan indikator lain berupa batas atas dan batas bawah.
"Dasar hukum apa yang dipakai oleh Menaker untuk membuat batas atas dan batas bawah. Para menteri yang terlibat dalam pembuatan PP 36 sungguh telah membuat permufakatan jahat," kata Said.
Baca juga : Marah UMP Naik 1 Persen, 2 Juta Buruh Siap Mogok Nasional
Kedua, kebijakan dalam penetapan UMP 2022 melanggar konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sebuah organisasi yang berada di bawah naungan PBB. Konvensi ILO Nomor 133 menyatakan bahwa upah minimum itu adalah jaring pengaman sehingga hanya ada satu angka. Tidak ada yang namanya batas atas dan batas bawah.
"Yang mengenal batas atas atau batas bawah adalah kalau mentalnya mental pengusaha transportasi, pengusaha taksi, pengusaha angkutan umum," kata Said menyindir.
Ketiga, penggunaan UU Cipta Kerja dan PP 36 mencederai prinsip negara hukum. Sebab, UU Cipta Kerja sedang disidangkan uji materiil dan uji formilnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Lantaran persidangan masih berjalan, kata Said, seharusnya pemerintah menggunakan produk hukum sebelumnya dalam penetapan UMP 2022. Produk hukum sebelumnya itu adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Mengacu pada PP 78, dasar penetapan upah adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
"Hasil survei kami di 10 provinsi, didapatkan bawah KHL naik 7-10 persen," ungkap Sadi. Seharusnya UMP 2022 naik 7-10 persen pula.
Baca juga : Kisruh Demokrat, Pengamat Nilai Moeldoko Sering Blunder
Keempat, formula dalam PP 36 menghasilkan kenaikan UMP lebih rendah dibanding laju inflasi. Formula penetapan UMP dalam PP 36 menetapkan persentase kenaikan upah dengan mengalikan angka inflasi atau pertumbuhan ekonomi dengan sebuah indeks. Indeks itu adalah hasil pembagian antara batas atas dikurangi UMP 2021, dan batas atas dikurangi batas bawah.
Dengan rumus seperti itu, kata Said, maka kenaikan UMK Depok hanya 0,86 persen. Padahal inflasi Jawa Barat 1,75 persen.
"Inflasi itu penyesuaian harga. Berarti kenaikan upah tidak lagi menyesuaikan harga, tapi justru lebih rendah dari harga. Jangankan naik, menyemai inflasi saja tidak," ungkap Said. "Rakyat disuruh menutup sendiri kekurangannya."
Sebelumnya, Kemenaker telah melakukan perhitungan kenaikan UMP 2022. Besaran UMP 2022 tertinggi adalah DKI Jakarta, yakni Rp 4.453.724. Sedangkan UMP terendah adalah Jawa Tengah dengan besaran Rp 1.813.011. Secara rata-rata nasional, UMP 2022 naik hanya sebesar 1,09 persen.
Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir, Upah Minimum selalu naik di atas 3 persen. Periode 2017 - 2020, Upah Minimum selalu naik di angka 8 persen lebih. Sedangkan pada 2021, tepat ketika pandemi Covid-19 sedang menggila, Upah Minimum naik 3 persen lebih.