Sabtu 13 Nov 2021 03:40 WIB

KPPOD: Reformasi Birokrasi Mutlak Dilakukan Pascapandemi

Regulasi dan kapasitas SDM kurang jadi kendala pelayanan izin berusaha.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ani Nursalikah
KPPOD: Reformasi Birokrasi Mutlak Dilakukan Pascapandemi. Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
KPPOD: Reformasi Birokrasi Mutlak Dilakukan Pascapandemi. Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai reformasi birokrasi mutlak dilakukan guna meningkatkan kualitas tata kelola ekonomi daerah pascapandemi Covid-19. Analis Kebijakan KPPOD Michico Tambunan mengatakan, terdapat sejumlah faktor penghambat mengenai pelayanan perizinan selama pascapandemi.

"Hasil penilaian KPPOD menemukan pelayanan perizinan berusaha pascapendemi masih menghadapi sejumlah kendala, baik dari regulasi, digitalisasi, dan kepastian proseduk waktu dan biaya dalam mengurus perizinan berusaha," ujar Michico dalam webinar Tata Kelola Ekonomi Daerah Pasca Pandemi, Jumat (12/11).

Baca Juga

Menurut dia, pengesahaan Undang-Undang tentang Cipta Kerja memiliki dampak positif untuk mempermudah pelayanan berusaha melalui online single submission risked based approach (OSS-RBA) atau sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik. Namun, dalam proses implementasinya masih dihadapkan sejumlah kendala.

Kendala tersebut yakni regulasi yang belum siap serta kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang. Selain itu, belum terintegrasinya antarsistem yang dikelola pemerintah, misalnya Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), Amdal-Net, serta Gistaru.

Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung Pambudhi mengatakan harus ada penguatan kapasitas birokrasi dalam mendukung implementasi aplikasi berbasis digital dalam pelayanan perizinan. Dia juga menekankan pentingnya meningkatkan edukasi publik.

Edukasi publik itu khususnya terkait transformasi pelayanan manual menuju daring. Termasuk juga pemerataan pembangunan infrastruktur berbasis digital, terutama di luar Jawa dan wilayah terluar Indonesia. "Tantangannya adalah menyelesaikan tegangan antara political office dan bureaucratic office untuk menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas," kata Agung.

Menurutnya, hal ini juga harus didukung dengan hadirnya kepemimpinan yang visioner dan transformatif untuk mengawal transformasi. Hal ini untuk mencapai digitalisasi pemerintahan di era disrupsi teknologi informasi yang begitu cepat.

Direktur Centre of Economic and Low Studies Bhima Yudhistira mengatakan, setelah pandemi selesai, terdapat lima tantangan tata kelola ekonomi yang memicu terjadinya krisis. Krisis ini ditandai dengan terjadinya krisis energi, krisis pangan, lingkungan hidup, daya saing, dan digitalisasi.

Dia menuturkan, krisis tersebut memicu inflasi yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Daerah juga tidak bisa lagi bergantung pada ekspor komoditas yang sifatnya sangat sementara dan bernilai tambah rendah.

"Dari sisi daya serap anggaran sangat mengecewakan, dimana realisasinya perseptember 2021 berkisar Rp 190 triliun lebih dana pemda mangkrak di perbankan," kata Bhima.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement