Jumat 12 Nov 2021 01:45 WIB

Reorientasi Kepahlawanan untuk Generasi Milenial Indonesia  

Generasi milenial mempunyai potensi jadi pahlawan masa depan

Generasi milenial mempunyai potensi jadi pahlawan masa depan. Pemuda (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO
Generasi milenial mempunyai potensi jadi pahlawan masa depan. Pemuda (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, menjadi sejarah perjuangan bangsa. Hanya dalam sekitar empat bulan setelah kelahirannya, bangsa Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekannya, harus menghadapi Inggris kampiun Perang Dunia II dan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. 

“Heroisme rakyat Surabaya dicatat dengan harum dalam perjalanan sejarah bangsa, bagaimana bangsa yang baru lahir mempertahankan kemerdekaannya,” ujar Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono, dalam keterangannya, Kamis (11/11).  

Baca Juga

Singgih yang juga Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia tersebut, menyebut sikap heroik dari rakyat Surabaya merupakan wujud kecintaan terhadap Tanah Air. Sekaligus ekspresi dari tekanan akibat politik imperialisme yang meminggirkan bangsa Indonesia selama ratusan tahun.  

Perlawanan mereka mengakibatkan serangan Inggris yang luar biasa tersebut, berlangsung selama tiga pekan yang mengakibatkan kerusakan besar terhadap kota Surabaya. 

Efeknya, luar biasa, mata dunia tertuju kepada negeri muda yang melawan dengan gigih kolonialisme.  

“Peristiwa itu dikenang karena keberanian, kegigihan, dan spontanitas rakyat Surabaya yang mengubah sejarah Indonesia. Heroiknya rakyat Surabaya yang kemudian hari disebut sebagai bondo nekat atau bonek,” kata Singgih.  

Peristiwa yang telah terjadi puluhan tahun lalu itu, seharusnya menjadi semangat dalam menghadapi tantangan globalisasi. 

“Kolonialisme dan imperialisme juga bersalin rupa, ini membutuh kecerdasan, kegigihan, dan adaptasi yang kuat. Sehingga bangsa ini tidak menjadi bangsa kelas tiga, hanya sebagai pasar dan bergantung terhadap bantuan negara lain,” ujarnya. 

Dia mengatakan, menciptakan ketergantungan secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi merupakan bentuk-bentuk hegemoni dan dominasi atau kolonialisme baru. Hal ini, bisa diantisipasi dengan kemandirian bangsa. 

“Bangsa Indonesia harus bisa mandiri, sehingga bisa berperan dalam geopolitik dan geoekonomi secara sejajar dengan negara-negara lain,” imbuh Singgih. 

Menurut dia, Indonesia, dengan kemampuannya, bukan hanya menjadi destinasi investasi yang menjajikan melainkan juga mampu berinvestasi ke mancanegara, “Bangsa Indonesia tidak anti investasi asing, namun jangan sampai investasi itu mengganggu kedaulatan bangsa atau mendikte pemerintah,” ungkapnya.  

Untuk itu, dia mengingatkan semua pihak harus bekerja keras dengan nilai-nilai luhur bangsa agar bangsa Indonesia menjadi bangsa maju, dan mampu mewujudkan pembukaan UUD 1945. “Apa yang dilakukan bangsa Indonesia hari ini, sangat menentukan perjalanan bangsa pada masa depan,” paparnya.  

Senada dengan Singgih Tri Sulistiyono, Sekretaris Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia,  Dody T Wijaya, mengatakan generasi muda terutama generasi Z, menjadi tumpuan bangsa. Mereka yang lahir sekitar  1997 hingga tahun 2000-an, menurut Dody adalah generasi yang lekat dengan teknologi sehingga terkadang disebut sebagai i-gen. 

 

Dia menyebut, kelompok usia ini ambisius, mahir tentang hal digital, percaya diri, mempertanyakan otoritas, banyak menggunakan bahasa gaul, lebih sering menghabiskan waktu sendiri, dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. 

“Generasi Z juga rentan terkena depresi juga kecemasan. Mereka inilah yang harus dibimbing menjemput Indonesia Emas 2045,” kata dia.  

Dia mengatakan, mereka sebagai anak teknologi dengan pemikiran yang global, bahkan nasionalisme mereka menembus batas negara dan ideologi,  harus mendapatkan nilai-nilai luhur bangsa, seperti gotong royong, “Mereka juga harus memiliki karakter alim-faqih, berakhlak mulia, dan memiliki sikap mandiri,” imbuhnya. 

Mereka akan jadi pahlawan masa depan, bila memiliki semangat rela berkorban dan berjuang untuk kepentingan orang banyak, tanpa membedakan suku, agama, dan ras, menurut Dody. 

Dia menilai, dengan generasi inilah, bonus demografi pada 2045 menjadi milik bangsa Indonesia. Sehingga Indonesia menjadi negara maju, namun dengan moralitas yang mulia dalam rangka membangun masyarakat madani yang makmur, sejahtera, adil, toleran, saling menghargai, tolong-menolong, dan semangat kebersamaan yang tinggi. “Merekalah pahlawan-pahlawan masa depan,” ujar dia.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement