REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Fath Risalah/Nawir Arsyad Akbar
Koalisi Masyarakat Sipil untik Kesehatan dan Keadilan mengumpulkan data terkait perputaran uang warga yang membayar tes PCR selama pandemi Covid-19. Mereka yang terdiri dari ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru ini mencatat, setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.
"Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih," kata anggota koalisi dari LaporCovid-19, Amanda Tan dalam keterangannya, Ahad (31/10).
Menurut dia, ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.
Dari kondisi tersebut, sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat. Sehingga, terdapat dua permasalahan dari kondisi di atas.
Pertama, Koalisi menduga, penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut, diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR.
Sebab, kondisi tersebut, pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
Baca juga : AP II Sediakan Layanan Tes PCR dengan Hasil 3 Jam
Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya. Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp 180 ribu.
Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen. Selain itu, komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas.
Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350 ribu, juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi. Sehingga, keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya, sejak Oktober 2020, Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.
Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya.