REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memberi rapor merah terhadap kinerja legislasi DPR Masa Sidang I Tahun 2021-2022. Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma, mengatakan, nilai tersebut diberikan berdasarkan rendahnya capaian legislasi DPR pada Masa Sidang I Tahun 2021-2022 lalu.
"Kinerja legislasi DPR Masa Sidang I Tahun Sidang 2021-2022 kembali menorehkan angka merah dengan hanya mampu menghasilkan satu RUU prioritas yakni RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Padahal dalam Pidato Pembukaan Masa Sidang I ini, Ketua DPR RI menyodorkan tujuh RUU prioritas untuk dibahas," kata Leo dalam webinar bertajuk 'Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang I, Tahun Sidang 2021-2022: DPR Masih Jadi Stempel Pemerintah', Kamis (28/10).
Leo mengatakan, buruknya capaian legislasi DPR masih beruntung dengan disahkannya empat RUU kumulatif terbuka, yakni RUU tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, RUU tentang Persetujuan ASEAN, RUU tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2020 dan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2022.
"Dengan hasil itu, pengesahan empat RUU kumulatif terbuka memang menjadi berkah bagi DPR untuk menutup borok lemahnya kinerja legislasi. Apalagi pengesahan dua RUU terkait APBN memang sudah seharusnya terjadi karena tuntutan siklus anggaran yang tak terelakkan dan bagian dari pengejawantahan fungsi anggaran DPR," ujarnya.
Leo menjelaskan, rendahnya produktifitas DPR di fungsi legislasi dibarengi dengan keputusan 'gila' DPR yang menambah empat RUU baru dalam daftar prioritas 2021, yaitu RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Langkah DPR tersebut dinilai sulit dipahami.
Selain itu, Leo juga mengatakan, progres pembahasan atas 37 RUU prioritas 2021 nampak stagnan dengan 14 RUU yang proses pembentukannya memasuki tahap Pembicaraan Tingkat I (pembahasan) di berbagai alat kelengkapan DPR. Lalu sebanyak enam RUU masih dalam tahapan penyusunan, empat RUU dalam proses penetapan usul, sembilan RUU belum tersentuh sama sekali.
"Dari perkembangan proses pembahasan RUU seperti di atas, terlihat betapa beratnya beban AKD DPR dalam menjalankan fungsi legislasi," tuturnya.
Leo menambahkan, sementara di waktu bersamaan, AKD tertentu melakukan penyusunan sekaligus pembahasan RUU. Tentu saja beban ganda membahas lebih dari satu RUU pada AKD tertentu akan memecah fokus mereka untuk menyelesaikan salah satu RUU.
"Cara kerja seperti ini sangat mungkin menjadi salah satu penyebab minimnya RUU yang bisa diselesaikan," kata Leo.