REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menjelaskan, semua pihak disebutnya sepakat diperlukannya haluan negara. Namun, yang menjadi persoalan dalam melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) adalah payung hukumnya.
"Yang menjadi diskursus di negara kita sekarang ini, untuk memayungi payung hukum daripada haluan negara itu ditempatkan di mana. Itu yang menjadi inti persoalan sekarang," ujar Syarief dalam sebuah diskusi, Ahad (24/10).
Saat ini, wacana yang bergulir untuk melahirkan PPHN adalah lewat amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, hal tersebut ditentang banyak pihak, karena diyakini akan membahas pasal-pasal lain.
Selain itu, amandemen dinilai tidak tepat dilakukan saat pandemi Covid-19. Sebab, masyarakat akan disibukkan dengan polemik yang hadir selama pengkajian dan pembahasan PPHN. "Kalau haluan negara tersebut masuk ke dalam undang-undang konstitusi kita, maka banyak terjadi pergeseran ketatanegaraan," ujar Syarief.
Namun, jika PPHN tak dilahirkan lewat proses amandemen, hal tersebut hanya akan bersifat rekomendasi bagi pemerintahan. Tak ada konsekuensi jika pemerintah tak melaksanakannya dan merealisasikannya. "Jadi artinya ini tidak mudah melakukannya, tetapi kami sepakat bahwa kita harus melakukan pendalaman," ujar Syarief.
"Bahwa ini untuk menghadirkan haluan negara, kita apresiasi, tetapi menjadi persoalan mau ditempatkan di mana," sambungnya.
Sebelumnya, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei sikap publik terkait wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu isu yang bergulir adalah presiden yang bekerja sesuai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). "Mayoritas warga, 81 persen menginginkan presiden bekerja sesuai dengan janji-janjinya kepada rakyat pada masa kampanye pemilihan presiden," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas dalam rilis daringnya," Jumat (15/10).
"Presiden harus bertanggung jawab pada rakyat, karena presiden dilipih oleh rakyat," sambungnya.
Sirojudin menjelaskan, hanya 10 persen publik yang setuju jika presiden bekerja sesuai PPHN atau GBHN dan bertanggung jawab kepada MPR. Sedangkan, 9 persen menyatakan tidak tahu atau tidak jawab. "Jumlah warga yang ingin presiden bekerja sesuai janji kepada rakyat, bukan menurut GBHN atau PPHN naik dari 75 persen dari Mei 2021 menjadi 81 persen pada September," ujar Sirojudin.