REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagai salah satu negara rawan bencana mengharuskan Indonesia bersiap diri dalam menghadapi berbagai bencana yang bisa muncul kapan saja. Salah satu dilakukan dengan membangun budaya literasi masyarakat tentang kebencanaan.
“Di perpustakaan nasional banyak sekali naskah yang menjelaskan tentang kebencanaan ini. Yang paling penting bagaimana masyarakat dapat mendapatkan pelajaran serta edukasi tentang gejala bencana alam khususnya,” ujar Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, dilansir dari laman resmi Perpusnas, Sabtu (23/10).
Dia menyampaikan, Perpusnas memberikan dukungan terhadap upaya Arsip Nasional (ANRI) membangun Pusat Studi Arsip Kebencanaan di Aceh dalam rangka memberikan sarana edukasi masyarakat terkait literasi kebencanaan. Menurut Syarif, upaya ANRI tersebut mendorong berbagai pihak untuk dapat menyiapkan berbagai referensi pengetahuan terkait bencana.
Selain itu juga sebagai jalan menjelaskan kepada masyarakat tentang gejala bencana yang bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh dunia. Menurut Syarif, di Perpusnas sendiri bahan pustaka terkait kebencanaan terdiri dari berbagai macam mulai dari manuskrip, buku langka, buku elektronik, artikel, dan surat kabar.
Dia memberikan sejumlah contoh, yakni Naskah Bugis berupa Kutika, Naskah Melayu, Naskah Jawa berupa Palilindon, Pararaton, Babad Momana dan Sengkala, yang berisi cerita bencana di masa lalu. Lebih lanjut Syarif menuturkan, yang paling penting dalam upaya menyadarkan masyarakat tentang kesadaran bencana adalah bagaimana setiap kejadian terkait bencana ditulis atau dibukukan.
“Penulisan terus dilakukan dari gejala-gejala alam yang terjadi sehingga menambah banyak referensi. Karena masih sulit menemui buku-buku yang memang berkualitas di bidang itu. Di mana secara itu berkaitan dengan kemampuan bangsa kita untuk mempersiapkan peralatan terkait pengendalian berbagai bencana yang mungkin timbul,” kata dua.
Kepala ANRI, Imam Gunarto, mengatakan, peresmian Pusat Studi Kebencanaan di Aceh sengaja melibatkan berbagai pihak seperti Perpusnas, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Universitas Syiah Kuala (USK), serta Pemerintah Daerah Aceh. Itu dilakukan agar pusat studi itu menjadi tanggung jawab bersama.
“Arsipnya sudah ada, sumbernya sudah ada, dukungan politik sudah ada, biaya sudah ada, peralatan sudah ada, gedung sudah ada. Selanjutnya apa? Yaitu untuk membangun kesadaran bersama di seluruh dunia,” kata Imam.
Imam berharap, hadirnya Pusat Studi Kebencanaan akan memberikan banyak dampak pada beberapa sektor seperti sosial dan pariwisata dengan banyaknya orang yang akan datang untuk belajar tentang kebencanaan. “Karena kita bangsa yang mudah lupa, pusat studi ini merupakan suatu upaya memperpanjang ingatan kita tentang kebencanaan,” pungkas Imam.
Di sisi lain, Plt Kepala BKN, Bima Haria Wibisana, yang pada masa munculnya bencana Tsunami Aceh Tahun 2004 silam menjadi koordinator penyusunan cetak biru rehabilitasi dan fekonstruksi Aceh Nias menceritakan pengalaman terkait penyelamatan arsip di kala itu.
“Saya saat itu juga membantu ANRI menyelamatkan arsip-arsip yang terkena Tsunami. Terutama arsip penting saat itu,” ungkap Bima.
Bima Haria mengungkap ide pembangunan Pusat Studi Kebencanaan ini sudah muncul sejak 2005. Menurut dia, masyarakat merupakan pihak yang dinilai perlu menerima informasi terkait kebencanaan agar menjadi paham dan bereaksi secara cepat ketika terjadi bencana.
“Pusat Studi Kebencanaan itu tidak bersifat materi statis tapi justru yang dinamis. Yang bisa dimengerti, diakses, dan dipelajari orang seluruh dunia. Jadi tidak hanya arsip statis tapi juga arsip digital yang bisa diakses,” imbuhnya.
Lebih jauh Bima Haria menyebutkan, sebagai negara rawan bencana Indonesia masih kurang memberikan respons terkait kesiapan menghadapi bencana. Pusat studi ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan sarana literasi masyarakat tentang hidup di kawasan rawan bencana.
Rektor USK Samsul Riza yang juga hadir menjadi narasumber mengatakan kesiapan USK mendukung untuk melestarikan arsip-arsip terutama terkait kebencanaan. “Tidak hanya terkait tsunami tapi juga bagaimana penanganan pandemi di Aceh misalnya bisa ada juga di pusat studi. Ataupun juga kejadian lain yang langka,” kata Samsul.