Rabu 20 Oct 2021 06:05 WIB

Saat Zona Aman Justru Jadi Sumber Trauma Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual terhadap anak juga dilakukan oleh orang yang dianggap ahli agama.

Pelecehan seksual anak (ilustrasi)
Foto: ABC
Pelecehan seksual anak (ilustrasi)

Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Lagi dan lagi, berita pelecehan seksual terhadap anak kembali terjadi. Semakin hari semakin banyak kasus pedofilia yang terungkap dan membuat miris hati para orang tua. Kabar buruknya lagi, pelecehan anak tak kenal tempat.

Pelecehan seksual terhadap anak bisa terjadi di mana saja. Di rumah, di sekolah, hingga tempat ibadah. Pelecehan juga tidak mutlak dilakukan oleh orang yang mungkin kita anggap 'jahat' atau orang tak dikenal. Figur yang selama ini dipandang sebagai teladan pun dapat menjelma menjadi predator seksual.

Bukan hal baru jika kita mendengar kabar guru, pemuka agama, atau bahkan orang tua anak sendiri menjadi pelaku pelecehan seksual. Masih segar dalam ingatan bagaimana tagar #PercumaLaporPolisi menyuarakan kasus pencabulan terhadap tiga anak yang diduga dilakukan ayahnya sendiri. Bahkan di institusi yang seharusnya jadi penegak hukum pun korban pelecehan seksual harus tertatih-tatih mencari keadilan.

Seorang pengajar di pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, belum lama ini juga ditangkap polisi karena melakukan pencabulan terhadap 26 santrinya. Jumlah itu kemungkinan masih bertambah. Modus yang digunakan adalah dengan mengancam dikurung di gudang atau dengan iming-iming uang.

Jangan dikira pelecehan seksual adalah hal baru sebagai akibat arus informasi yang tak bersekat. Nyatanya laporan penyelidikan Komisi Independen untuk Pelecehan Seksual di Gereja (CIASE) memperkirakan ada 216 ribu anak di bawah umur dilecehkan sejak 1950 sampai 2020. Jumlah itu diperkirakan melonjak jadi 330 ribu dengan memasukkan identitas korban maupun pelaku yang bukan pastor, tetapi punya hubungan dengan gereja seperti sekolah agama maupun program pemuda.

Bayangkan bagaimana perasaan orang tua yang mempercayakan buah hatinya dididik dan dibimbing oleh guru atau ahli agama, tapi justru harus menerima kenyataan pahit ini. Awalnya, anak-anak mungkin tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban pelecehan. Kalaupun suatu saat mereka sadar, tak sedikit yang hanya diam memendam trauma dan pasrah menerima keadaan tanpa tahu harus berbuat apa.

Merebaknya kekerasan seksual terhadap anak mengingatkan semua  pihak, terutama orang tua, agar semakin waspada. Di sinilah pentingnya pendidikan seks di usia dini dan mengenalkan anak pada bahaya yang bisa mengancamnya.

Edukasi seks bisa diawali dengan mengenalkan anggota tubuh dan fungsinya, termasuk penis dan vagina. Setelah itu perlahan-lahan anak dikenalkan pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada anggota tubuh mereka.

Khusus untuk penyebutan organ kelamin, orang tua kadang lebih nyaman  mengenalkan dengan istilah yang terdengar 'imut' dan tidak vulgar. Padahal penting bagi anak untuk tahu nama organ vitalnya. Dengan tahu nama yang benar dari organ-organ tubuhnya, anak dapat menjelaskan kepada orang tua apa yang telah dilakukan orang lain pada tubuh mereka.

Membiasakan anak menyebut bagian tubuhnya dengan nama yang benar juga akan memudahkan pemeriksaan medis. Jika terjadi sesuatu pada anggota tubuhnya, anak dapat menjelaskan kepada orang tua atau tenaga kesehatan tentang apa yang dirasakannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement