Senin 18 Oct 2021 09:11 WIB

IDEAS: Klaster PTM dan PON Mengkhawatirkan

Klaster PTM dan PON dikhawatirkan memunculkan kembali gelombang pandemi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: A.Syalaby Ichsan
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menilai kerawanan pangan menjadi krisis paling serius yang dihadapi keluarga miskin di masa pandemi. Dari skala pengalaman kerawanan pangan terlihat jelas bahwa krisis pangan di keluarga miskin adalah nyata dan serius.
Foto: istimewa
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menilai kerawanan pangan menjadi krisis paling serius yang dihadapi keluarga miskin di masa pandemi. Dari skala pengalaman kerawanan pangan terlihat jelas bahwa krisis pangan di keluarga miskin adalah nyata dan serius.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menyoroti potensi klaster Covid-19 baru akibat pelonggaran aktivitas sosial ekonomi oleh pemerintah. Misalnya klaster Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan klaster PON XX Papua.

Seiring kondisi pandemi yang kian terkendali, pemerintah dengan percaya diri kini terus melonggarkan pembatasan berbagai aktivitas sosial ekonomi. Yusuf mengatakan meningkatnya kembali mobilitas masyarakat secara signifikan ini terlihat beriringan dengan semakin melemahnya disiplin protokol kesehatan.

"Munculnya berbagai klaster Covid-19 mulai dari penyelenggaran pertemuan tatap muka sekolah hingga dari arena PON XX menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan," kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya pada Ahad (17/10).

Dia menambahkan, pemerintah dan masyarakat seolah lupa bahwa Covid-19 masih ada dan hanya baru beberapa bulan yang lalu merasakan getirnya serangan virus ini. Pada Juni-Agustus 2021 lalu, Indonesia dihantam gelombang kedua yang begitu keras.

Yusuf mengatakan pemulihan pandemi Indonesia yang sangat menjanjikan ini kemudian memunculkan euphoria sebagian kalangan masyarakat. Ia bahkan berspekulasi bahwa Indonesia kini telah mencapai herd-immunity.

Yusuf menegaskan, dengan penduduk yang telah mendapat vaksin kesatu dan kedua berturut-turut baru di kisaran 35 dan 20 persen dari total penduduk. Sehingga herd-immunity jelas masih jauh dari tercapai. 

Menurut dia, meski vaksinasi berjalan cepat dan optimal pun kekebalan komunitas tetap sulit diraih. Dalam skenario konservatif dengan cakupan vaksinasi di kisaran 74 persen populasi, dan dengan menggunakan asumsi daya penularan virus (R0) 3,0 seperti varian awal di Wuhan, maka dibutuhkan tingkat efikasi vaksin setidaknya 90 persen untuk meraih kekebalan komunitas tersebut.

Menurut Yusuf kehadiran varian baru yang jauh lebih menular, yaitu Alpha (R0 = 4,5) dan Delta (R0 = 6,5), membuat skenario herd-immunity akan sangat sulit tercapai, bahkan bisa dikatakan mustahil. Dari simulasi yang dilakukan IDEAS, Untuk R0 = 4,5 setidaknya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin 85 persen dengan cakupan vaksinasi 92 persen populasi. 

Sedangkan untuk R0 = 6,5 setidaknya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin 90 persen dengan cakupan vaksinasi 94 persen populasi. Hipotesis lain dari kinerja tinggi pemulihan pandemi Indonesia adalah besarnya herd-immunity yang diperoleh bukan dari vaksin, namun dari paparan virus di masa lalu.

Menurut dia, spekulasi ini mendapat dukungan dari beberapa temuan empiris. Survei serologi di DKI Jakarta pada Maret 2021 menemukan sekitar setengah penduduk Jakarta pernah terinfeksi Covid-19. Terkini, Universitas Washington mengestimasi sekitar 29 persen penduduk Indonesia pernah terinfeksi Covid-19. 

"Survei kami pada Agustus 2021 menemukan hal serupa yaitu tingginya tingkat infeksi dari gelombang ke-2, terutama di Jabodetabek dan wilayah perkotaan. Dalam 3 bulan terakhir, sebanyak 20,8 persen responden di Jabodetabek mengaku pernah terpapar Covid-19," beber Yusuf.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement