Kamis 07 Oct 2021 15:23 WIB

7 Elemen Buruh Tuntut Pencabutan Kepmenaker 104

Terdapat tiga ketentuan yang menjadi alasan penolakan buruh atas Kepmenaker ini.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah demonstran gabungan buruh berdemo menolak UU Ciptaker. (Ilustrasi).
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sejumlah demonstran gabungan buruh berdemo menolak UU Ciptaker. (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak tujuh elemen buruh dari berbagai sektor menuntut Menteri Tenaga Kerja mencabut Kepmenaker No. 104/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19. Sebab, peraturan tersebut dinilai merugikan para pekerja dan menguntungkan pengusaha.

"Kepmenaker No. 104/2021 ini melucuti jaminan perlindungan kaum buruh dan justru seolah mempertegas keberpihakan pemerintah kepada kepentingan pengusaha sebagai yang terdampak pandemi. Sementara jutaan buruh dan keluarganya, yang jauh lebih terdampak, (tapi) lebih sering dikesampingkan," demikian bunyi pernyataan sikap yang ditandatangani oleh tujuh pimpinan serikat buruh/pekerja itu, Kamis (7/10).

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri pada Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI), Dion Untung Wijaya, mengatakan, terdapat tiga ketentuan yang menjadi alasan penolakan atas Kepmenaker ini. Yakni, selama masa pandemi Covid-19, dimungkinkan perusahaan tetap melakukan proses produksi dengan mengurangi jumlah buruh, melakukan kerja bergilir, mengurangi jam kerja (Lampiran  Kepmenaker No. 104/2021, Bab II point A).

Kedua, selama terjadi pengaturan ulang proses produksi seperti tersebut di atas, dimungkinkan dilakukan merumahkan buruh, pengurangan upah, pengurangan dan/atau penghapusan tunjangan, tidak melakukan perpanjangan kontrak kerja, dan pemberlakuan pensiun dini (Lampiran Bab II point B-C).

Ketiga, hal-hal tersebut dalam point 2 dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dan buruh termaksud (Lampiran Bab II point B angka 3-5).

Dion menjelaskan, beberapa poin tersebut memungkinkan negosiasi ulang antara pengusaha dan buruh secara individual. Bukannya, antara pengusaha dan serikat buruh. Hal ini bertentangan dengan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan sejumlah ayat dalam Konvensi ILO.

Pokok masalahnya, kata dia, proses negosiasi itu membahas isu vital seperti upah, tunjangan, dan pensiun dini. Negosiasi haruslah dilakukan dengan serikat buruh. 

"Hal-hal demikian seharusnya tidaklah diserahkan pada buruh secara individual (yang) memiliki posisi tawar jauh lebih lemah dibanding pengusaha," kata dia.

Dion menambahkan, keberadaan Kepmenaker ini sudah berdampak kepada buruh. Sejumlah pabrik telah memanggil buruh secara individual untuk menyetujui penurunan upah atau penghapusan tunjangan. 

Padahal, aktivitas produksi di pabrik tetap berlangsung dengan skala produksi normal. Artinya, upah atau tunjangan buruh dikurangi saat beban kerja masih seperti biasa.

Di sisi lain, kata dia, Kepmenaker ini juga tidak memuat tenggat waktu berlakunya. Aturan ini berpotensi tetap diterapkan saat pandemi usai.

Dengan semua problematika itu, kata Dion, tujuh serikat buruh menuntut Kemenaker mencabut peraturan tersebut. "Apabila dibiarkan, tentu saja kekuatan serikat pekerja atau serikat buruh sebagai alat perjuangan buruh akan semakin melemah dan tingkat kesejahteraan kaum buruh makin merosot," kata Dion lagi.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement