Senin 04 Oct 2021 19:25 WIB

Saran Epidemiolog Soal Hasil Uji Klinis Molnupiravir

Molnupiravir bekerja dengan menghambat replikasi RNA virus corona di fase awal.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Dwi Murdaningsih
Obat Covid-19 palsu (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Obat Covid-19 palsu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menilai molnupiravir cukup menjanjikan sebagai obat Covid-19. Ia mendukung bila pemerintah Indonesia mulai melakukan penjajakan guna memulai produksi molnupiravir di dalam negeri.

Perusahaan farmasi Merck  mengembangkan obat Covid-19 yang diklaim dapat menurunkan risiko keparahan COVID-19. Bahkan efikasi molnupiravir konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yakni Gamma, Delta, dan Mu. 

 

Dicky menganalisa klaim kemanjuran molnupiravir punya dasar kuat dari uji klinis fase 3 yang diperkirakan sudah mencapai 90 persen. Ia menduga hasil lengkap uji klinis fase 3 akan dalam waktu dekat ini.

 

"Obat ini dari uji awal-awal sudah menjanjikan. Terbukti, tapi tentu harus tunggu hasil akhir dilihat datanya. Kalau dari beberapa jurnal fase 1, 2, 3, sebenarnya cukup menjanjikan," kata Dicky kepada Republika.co.id, Senin (4/10).

 

Dicky mengamati Merck mulai penjajakan produksi di 5 pabrik besar di India sejak April 2021. Ia menyarankan Indonesia mengikuti jejak India. Sebab ia optimis molnupiravir akan mendapat izin edar karena tidak ada efek samping yang mengkhawatirkan. 

 

"Secara umum ini menjanjikan, Indonesia harus mulai jajaki produksi obat generiknya seperti India. Proses paralelnya saja dia (Merck) ajukan untuk EUA (izin penggunaan darurat obat)," ujar Dicky.

 

Dicky menerangkan molnupiravir ialah obat oral atau obat yang bisa diminum. Fungsinya menghambat replikasi RNA virus corona di fase awal. Kemampuan Molnupiravir mencegah virus memperbanyak diri membuat obat tersebut sangat efektif mencegah perburukan Covid-19.

 

"Efektif sekali kalau diberikan di fase awal. Dia juga merangsang terjadinya error ketika virus sedang dalam proses memperbanyak diri," ucap Dicky.

 

Dicky mengungkapkan riset Merck awalnya ditujukan untuk mengatasi penyakit influenza dan ebola. Namun ketika terjadi pandemi Covid-19, riset Merck beralih guna mengatasinya.

 

"Sebelum pandemi, obat ini lagi diriset karena aslinya untuk influenza dan ebola. Ketika terjadi pandemi dilakukan riset untuk Covid-19 dari tahun lalu," ucap Dicky.

 

Untuk sementara ini, Dicky menyebut molnupiravir tak diizinkan bagi perempuan hamil. Ini merujuk fungsi molnupiravir dalam mencegah replikasi RNA virus corona dikhawatirkan mempengaruhi sel-sel manusia.

 

"Catatan kritisnya jangan-jangan obat ini bisa sebabkan mutasi yang sama pada sel manusia normal. Harus dilihat dari hasil kajian akhirnya makanya dari catatan semntara ini belum dianjurkan ke perempuan hamil," kata Dicky. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement