REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, meminta, masyarakat tak bersukacita berlebihan dalam merespons obat Covid-19 buatan perusahaan asal Amerika Serikat (AS). Pasalnya, obat bukanlah satu-satunya solusi menghadapi pandemi Covid-19.
Perusahaan farmasi AS, Merck, mengembangkan obat Covid-19 yang diklaim dapat menurunkan risiko keparahan Covid-19. Merck baru saja memublikasikan obat Covid-19 eksperimental bernama molnupiravir yang menunjukkan hasil positif melawan virus corona.
"Sampai saat ini jangankan obat, vaksin saja enggak bisa selesaikan pandemi. Obat itu kuratif di bagian hilir (perawatan). Perannya obat ini tetap ada, tapi jangan euforia," kata Dicky kepada Republika, Senin (4/10).
Dicky mengimbau, semua pihak tetap menjalankan 3T dan 5M walau sudah ada vaksin dan obat Covid-19. Langkah ini diperlukan guna menjaga rendahnya kasus Covid-19 di Tanah Air.
"Mau ada obat ini, mau ada vaksin, 3T 5M tetap terus karena kalau tidak maka banyak kasus lagi walau ada obatnya," ucap Dicky.
Dicky juga mewanti-wanti masyarakat agar tak menurunkan kewaspadaan pencegahan Covid-19. Sebab mereka yang pernah terjangkit Covid-19 berpeluang mengalami gangguan kesehatan secara kontinu bahkan pasca sembuh dari Covid-19.
"Harus dipahami infeksi Covid-19 ada yang sepertiganya dari yang pulih berpotensi alami long Covid. 70 persen dari sepertiga itu alami setidaknya 1 organ vital rusak antara jantung, paru, ginjal, hati. Upaya cegah orang terinfeksi itu tetap yang utama," ucap Dicky.
Diketahui, hasil studi laboratorium Merck & Co menunjukkan bahwa obat antivirus Covid-19 molnupiravir mengurangi sekitar 50 persen risiko rawat inap atau kematian bagi pasien yang berisiko penyakit parah. Hal ini berdasarkan hasil uji klinis sementara yang diumumkan pada Jumat (1/10).
Merck bersama mitranya, Ridgeback Biotherapeutics berencana untuk mencari otorisasi penggunaan darurat AS untuk pil tersebut sesegera mungkin, dan untuk mengajukan permohonan kepada Badan Pengatur Obat di seluruh dunia.