Kamis 30 Sep 2021 18:04 WIB

SDM dan Inovasi Teknologi Pertanian Perlu Diperkuat

Mau tidak mau sistem produksi sawah secara cerdas menjadi keniscayaan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Petani menarik padi hasil panennya melalui saluran irigasi di Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Ahad (19/9/2021). Data Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan realisasi serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementan per 21 Agustus 2021 mencapai Rp7,85 triliun atau 48,35 persen dari pagu Rp16,25 triliun, hal tersebut mencakup kegiatan pengembangan kebutuhan pangan nasional.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Petani menarik padi hasil panennya melalui saluran irigasi di Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Ahad (19/9/2021). Data Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan realisasi serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementan per 21 Agustus 2021 mencapai Rp7,85 triliun atau 48,35 persen dari pagu Rp16,25 triliun, hal tersebut mencakup kegiatan pengembangan kebutuhan pangan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila), Prof Bustanul Arifin melihat, sektor pertanian 2020 dan 2021 terbukti masih menjadi bantalan resesi. Oleh sebab itu ia menegaskan perlu penguatan ekosistem pertanian dari hulu, tengah, dan hilir akan sebagai kuncinya.

‘’Untuk mencapai ketahanan pangan perlu integrasi pengembangan sistem produksi, distribusi, kelembagaan, dan konsumsi,’’ tegas Bustanul.

Selain itu juga yang perlu mendapat perhatian adalah sistem input pertanian, sarana-prasarana, intensifikasi, dan mekanisme pertanian presisi onfarm, penanganan panen dan pasca-panen. Dengan begitu perlu dikuatkan pada ekosistem kluster pertanian hulu-tengah-hilir dan selanjutnya menghubungkan petani dengan pasar.

Bustanul merasa, perlu ada sistem kemitraan inklusif yang mampu memberdayakan petani. Setelah terwujud baru kemudian  akses pembiayaan serta  dukungan literasi keuangan, literasi bisnis petani, pembiayaan perdesaan atau sistem keuangan mikro berkelanjutan.

"Jangan lupa human investment, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, termasuk di pertanian dan perdesaan, untuk menanggapi perubahan teknologi yang amat cepat," kata Bustanul.

Ia menambahkan meski sektor pertanian masih menjadi bantalan resesi, namun terjadi fenomena ruralisasi, peningkatan tenaga kerja pertanian. Menurut data tenaga kerja pertanian naik dari 36,71 juta pada Agustus 2019 menjadi 31,13 juta pada Agustus 2020.

Ia berpendapat, peningkatan tenaga kerja ini menjadi tambahan beban pertanian karena produktivitas tenaga kerja pertanian rendah.

Dalam kesempatan yang sama,  Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Arif Satria mengatakan, mau tidak mau sistem produksi sawah secara cerdas menjadi keniscayaan. Apalagi, tenaga-tenaga kerja yang saat ini ada rata-rata 49-59 tahun yang tenaganya terbatas.

Fenomena yang lain, anak-anak mereka hari ini sudah tidak mungkin melanjutkan pekerjaan seperti itu. Di sisi yang lain sampai sekarang kita belum mempersiapkan teknologinya sehingga agak sulit untuk bisa meningkatkan daya saing 10-20 tahun mendatang.

Jadi, mulai sekarang kita sudah harus mau berpikir tentang teknologi 4.0 dan mempercepat proses transformasinya. IPB sendiri terus mengenalkan teknologi-teknologi pertanian dan melakukan pendampingan ke tanah-tanah milik petani.

Untuk itu, ada pula inovasi-inovasi sosial seperti memperbaiki kualitas data desa dengan pendekatan drone participatory mapping. Kemudian, mengubah mental peternak rakyat agar lebih mandiri melalui sekolah peternakan rakyat.

Lalu, mengembangkan komunitas pengembangan sawah cerdas dan menghubungkan petani dengan puluhan pasar modern melalui pendampingan dan teknologi. Serta, mengonsolidasi Bumdes ke pasar modern dan menguatkan ekonomi desa lewat inovasi.

"Kalau Muhammadiyah masuk ke program-program seperti ini saya yakin bisa meningkatkan peran kita memberdayakan masyarakat pertanian," ujar Arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement