REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Masyarakat di Kabupaten Aceh Tamiang mulai mengembangkan porang atau tanaman yang menghasilkan umbi-umbian dengan memanfaatkan lahan tidur untuk meningkatkan perekonomian di tengah pandemi Covid-19, Agus Surya Bakti (34), petani porang, di Aceh Tamiang, Rabu (30/9) mengatakan dia mengembangkan tanaman penghasil umbi memanfaatkan lahan tidur untuk membantu ekonomi keluarga.
"Awalnya, saya tanam porang ini tidak ada motivasi apa-apa, hanya untuk mengisi waktu luang saja bila tidak ada sif kerja di pabrik. Namun, karena hasilnya menjanjikan, sehingga menanam porang ini menjadi lebih serius," kata Agus Surya Bakti. Agus Surya Bakti mengatakan dirinya bekerja sebagai satuan pengaman (satpam) di sebuah pabrik kelapa sawit di daerah itu.
Dia mendapat penghasilan lebih dengan menanam porang. Menurut Agus Surya Bakti, dia menanam tanaman porang di lahan seluas 1.600 meter persegi. Selain ditanam di tanah, tanaman tersebut juga ditanami di polibag," ujarnya.
Jumlah porang yang ditanam sebanyak 20 ribu pohon. Kalau tanamannya subur bisa menghasilkan umbi hingga satu ton per rantai atau 400 meter," kata Agus Surya Bakti.
Agus Surya mengatakan usia maksimal panen porang berkisar 1,5 hingga dua tahun. Setiap 5 hingga 8 bulan tumbuhan sejenis talas ini mengalami dorman. Di fase dorman ini, batang porang akan layu dan mati lepas dari umbi. Kemudian batang baru akan tumbuh. "Ketika masa dorman, maka bisa panen yang biasa disebut biji katak untuk cikal bakal bibit. Biji besar dinamakan katak super, biji kecil katak biasa," kata Agus Surya Bakti.
Agus Surya Bakti mengatakan biji katak porang juga bernilai ekonomis sama dengan umbi atau buah porang. Harga biji katak biasa (kecil) berkisar Rp 180 ribu hingga Rp 250 ribu per kilogram. Sedangkan harga biji katak super berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu per kilogram," ujarnya.
Harga umbi porang basah berkisar Rp 7.000 hingga Rp 15 ribu per kilogram. Sementara, umbi porang yang sudah keringkan mencapai Rp 55 ribu per kilogram," kata Agus Surya Bakti.