REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Polisi Perairan Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Republik Indonesia (Ditpolair Baharkam Polri) menggagalkan penyelundupan 122.100 benih lobster atau benur yang nilainya sekitar Rp 33,6 miliar. Penangkapan terhadap tersangka IS beserta barang bukti benih lobster dilakukan pada Ahad (12/9)
"Tersangka IS yang pertama kami tangkap, setelah itu barang bukti kami hitung jumlahnya sekitar 122.100 ekor baby lobster," kata Direktur Polair Korpolairud Polri Brigjen Yassin Kosasih di Mako Ditpolair Baharkam Polri, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (24/9).
Yassin menjelaskan, tersangka IS mengemas benih lobster tersebut di dalam kantong plastik yang disamarkan di dalam koper. Tim Sub Direktorat Penegakan Hukum dan Sub Direktorat Intelijen Perairan Ditpolair Polri melakukan pengembangan yang mengarah ke penangkapan tiga tersangka lain yang berinisial MH, BPS, dan LS pada Senin (13/9).
Dia menjelaskan, sindikat itu mengumpulkan benih lobster dari wilayah Sukabumi, yang kemudian dibawa ke Jakarta. Mereka membawa benur menggunakan speed boat menuju Banten, Jambi, dan berakhir di Batam. Setelah itu, benur akan diberangkatkan ke Singapura.
"Harganya setelah diseberangkan ke Singapura dari Rp 10 ribu-Rp 20 ribu ke pengepul itu menjadi Rp 200 ribu, harganya fantastis kenaikannya, ada potensi kerugian, negara sangat dirugikan," ujar Yassin.
Adapun potensi kerugian negara apabila benih lobster tersebut berhasil diselundupkan adalah setara Rp 33,6 miliar. Menurut Yassin, kasus penyelundupan benih lobster sebagai musuh negara yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap negara.
"Menteri KKP yang baru menyampaikan (penyelundupan) baby lobster ini sebagai musuh negara, sangat merugikan negara, hampir sama dengan narkoba yang kita ketahui sejak dulu menjadi musuh negara dan masyarakat," ujarnya.
Ditpolair kemudian melepaskan kembali benih lobster tersebut di perairan Kepulauan Seribu dengan disaksikan oleh Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKPIM), dengan sebagian kecil disisihkan untuk barang bukti di pengadilan.
Atas perbuatannya, para tersangka ini dijerat dengan Pasal 92 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pasal 88 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman hukuman maksimal delapan tahun penjara dan denda maksimal Rp 1,5 miliar.